قصير
معهد
مفتاح السعادة
في كومفليك النوى
دي سوسون اوليه
للعبد الفقير سدم سكنة الجيكراى
البنتاني
غفر
الله له ولوالديه ولمشائخيه ولجميع المسلمين
والمسلمات
والمؤمنين والؤمنات
امين
A. PENGERTIAN SEJARAH
Sejarah berasal dari bahasa Arab yang
berarti Sajaratun yang berarti pohon yang bercabang-cabang, karena
sejarah merupakan kembangan dari satu titik kejadian saling berkaitan sehingga
alur yang saling berkaitan, hal inilah yang kemudian digambarkan seperti pohon
yang bercabang.
Dalam bahasa Yunani, sejarah berasal dari kata
Historia yang berarti ilmu pengetahuan yang bersumber dari penelitian yang
mendalam. Dalam bahasa Inggris, sejarah berasal dari kata History yang berarti
kejadian masa lampau, kejadian masa lampau manusia.
B. MASUKNYA
ISLAM KE NUSANTARA ATAU INDONESIA
Masuknya agama islam ke nusantara banyak teori yang mengungkapakan tapi yang di
domina adalah tiori Arabia/mekah, dan
masuk islam ke nusantara terdiri beberapa generasi.
1. GENERASI
KE 1 : HUBUNGAN KERAJAAN SRIWIJAYA
DENGAN KHALIFAH ISLAMIYAH
Sriwijaya merupakan kerajaan Budha tertua dan
terbesar di Nusantara. Anda jika
sebagian warga Sriwijaya sudah banyak yang memeluk Islam sebagai agamnaya.
Sriwijaya juga menjalin hubungan begitu akrab dengan kekhalifahan Islam zaman
Bani Umayah (661-750 M) dan Bani Abasiyah (750-1256 M). Bahkan, Sriwijaya
pernah dipimpin oleh seorang raja Muslim bernama Sri Indrawarman. Di masa
kekuasaannya, Sriwijaya dikenal sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”.
Di masa Sriwijaya sendiri tengah berada pada
zaman keemasan. Wilayah kekuasaannya di utara merambah sampai Semerumjung
Malaka, sedang di selatan hingga Jawa Barat. Salah satu bukti eratnya
persahabatan antara Sriwijaya dengan Daulah Islamiyah adalah dengan adanya dua
pucuk surat yang dikirimkan Raja Sriwijaya kepada khalifah Bani Umayyah. Surat
pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul
Aziz.’ Surat pertama ditemukan dalam lemari arsip Bani Umayyah oleh Abdul Malik
bin Umayr, yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian
disampaikan lagi kepada Al-Haytsam bin Adi. Yang mendengar surat itu (Lori
AI-Haytsam menceriterakan kembali pendahuluan surat tersebut “Dari Raba Al-Hind
yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istanarga terbuat
dazi emas dan Perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua
sungai besaryang mengairi pohon gaharu, kepada Muamzjah….
Hubungan itu berlanjut hingga di masa kekuasaan
Bani Umayyah dengan khalifahnya Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Ibnu Abdul al
Rabbih secara lebih lengkap memuat korespondensi antara Raja Sriwijaya kala
itu, Raja Sri Indrayatman (Sr’ Indrawarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
itu. Salah satu isi suratnya berbunyi, “Dari Raja di Raja (Malik al amlak) yang
adalah kemrunan seribu raja; yang beristeri juga tutu seribu raja; yang di
dalam kandang binatangnya terdapat seribu galab; yang di wilayabnya ter-dapat
duo sungai yang mengairi pohon gaharu nan harum, bumbu-bumbu n’emangian, pala,
dan kapur barusyangsemerbak wanginya bingga nzenjangkau yarak 12 mil; kepada
Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah
mengitimkan kepada Anda hadthb, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak
begitu banyak, tetapi sekadar tanda perrahabatan. Dengan seculars bail, soya
login Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam
kepada sqya dan memelaskan kepada soya tentang bukum-hukumnya.” Ini adalah
surat dari Raja Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru
raja diangkat menggantikan Khalifah Sulaiman (715-¬717M).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengutus
salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan Islam kepada Raja
Sriwijaya, Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya. Tatkala mengetahui
segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya tersentuh
hidayah. Pada tahun 718, Sri Indrawarman akhirnya mengucap dua kalimat
syahadat. Sejak itu kerajaannya disebut orang sebagai “Kerajaan Sribuza yang
Islam”. Tidak lama setelah Sri Indrawarman bersyahadat, pada tahun 726 M, Raja
Jay Sima dari Kalingga (Jepara, Jawa Tengah), putera dad Ratu Sima juga memeluk
agama Islam.’
Data-data tentang Islamnya Raja Sriwijaya
memang begitu minim. Namun besar kemungkinan, Sri Indrawarman mengalami
penolakan yang sangat hebat dari lingkungan istana, sehingga raja-raja
setelahnya kembali berasal dari kalangan Budha. H. Zainal Abidin Ahmad hanya
mencatat: “Perkembangan Islam yang begitu ramainya mendapat pukulan yang
dahsyat semenjak Kaisar-Kaisar Cina dari Dinasti Tang, dan juga RajaRaja
Sriwijaya dari Dinasti Syailendra melakukan kezaliman dan pemaksaan
keagamaan.”‘
Setidaknya terdapat tiga teori atau pendapat
yang cukup populer mengenai hal
tersebut. Pendapat pertama menyebutkan,
Islam masuk ke Indonesia dari Persia pada abad ke XIII . Sesuai dengan
bukti-bukti sejarah adanya beberapa bentuk upacara simbolik keagamaan seperti
pada peringatan 10 Muharram sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein,
cucu Rasulullah Saw, di beberapa tempat di Sumatra.
Pendapat kedua yang diusung oleh Snouck
Hurgronje menjelaskan, Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak
benua India. Daerah Gujarat, Bengali, dan Malabar merupakan asal masuknya Islam
di Nusantara. Teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran
dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal yaitu pada abad
XII dan XIII. Berbeda dengan pendapat pertama dan kedua, pendapat ketiga
mengungkapkan, Islam datang langsung dari Arab
pada abad ke VII. Islam masuk ke
Indonesia pada masa abad pertama Hijriah bahkan pada masa Khulafaur Rasyiddin.
Islam Ekspedisi ke Indonesia telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan
dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya. Dalam sumber-sumber literatur
Cina menyebutkan bahwa menjelang seperempat abad VII, sudah berdiri
perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatra. Manakah teori atau pendapat
yang sebenarnya?
a. Masuknya
Islam di Mata Para Ahli
Seorang ahli sejarah bernama Bellwood menemukan
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang be¬rarti
Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah
berkembang menghubung¬kan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa
tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman
sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Bahkan para pedagang pribumi diketahui
telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina, banyak barang
perunggu Cina pada masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi
pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang,
Jawa Timur, yang sudah sering di¬jarah.
Di lain pihak BUYA HAMKA mengungkapkan,
seorang pencatat sejarah Tiongkok pada tahun 674 M telah menemukan satu
kelompok bangsa Arab yang berdiam di pesisir Barat Sumatera. Penemuan tersebut
telah men¬gubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah
Air. BUYA HAMKA menekankan temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown Univer¬sity di Amerika.
Hal yang sama juga diungkapkan G.R.
Tibbetts yang tekun meneliti hubungan
perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para
pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan
bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga
menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M
hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan
setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah, di sebuah pesisir pantai Sumatera
sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam
kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
b. Saat
Rasulullah Hidup, Islam Telah Masuk Indonesia.
Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan
bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada masa Rasulullah masih hidup.
Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian
menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya
berdakwah secara diam-diamb periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar
kuartal pertama ta¬hun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka
dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara
sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di
Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Sury¬anegara lebih berani lagi dengan
menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin
kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda
Arab yang be¬rasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati,
amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari
Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.
c. Gujarat
Sekadar Tempat Singgah
Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi
Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dike¬nal sebagai Teori Makkah.
Islam di Nusantara bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) karena para
pedagang yang datang dari India, sebenarnya berasal dari Jazirah Arab yang
sebelumnya singgah dulu di India.
Apabila dilihat di atlas Asia Selatan,
kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab men¬jadikan
India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan
perjalanan ke Sumatera mau¬pun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina.
Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke
Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang
ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga
pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu
mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Berdasarkan pemaparan dan hasil riset
dari sejumlah ahli sejarah di atas sekaligus menepis pendapat dari Snouck
Hurgronje yang menyebutkan bahwa Islam masuk Nusantara (Indonesia-red) pada
abad ke-14. Padahal Islam di Indonesia telah masuk saat Rasulullah SAW masih
hidup, yakni di abad ke-7.
Perlu ditekankan, walaupun terdapat
perbedaan pendapat tentang kapan masuknya Islam di Indonesia sebagaimana
tertera di atas, namun para ilmuwan sepakat bahwa proses masuknya Islam ke
Indonesia tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer. Penyebaran
Islam tersebut dilakukan secara damai dan berangsur-angsur melalui perdagangan,
perkawinan, pendirian lembaga pendidikan pesantren (dalam hal ini mirip mandala
dalam agama Hindhu di Jawa), penyebaran da’i, perkumpulan tarekat, penyuluhan
pertanian, dan sebagainya.
2. GENERASI KE 2 : ISLAM NUSANTARA BERDASARKAN KETURUNAN
AHLUL BAIT NABI
Sayyid Ahmad bin Al-Muhajir adalah cicit
Ali Al-Uraidhi, putra keempat Imam Ja’far Shadiq. Sedangkan Imam Ja’far Shadiq,
yang merupakan putra Imam Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husayn bin
Ali bin Abi Thalib.
Dengan demikian, Syeikh Jumadil Kubro
salah seorang keturunan Ahlulbait yang berperan penting dalam penyebaran Islam
di Nusantara. Beliau dijuluki sebagai penghulu Wali Songo (punjer Wali Songo).
Di batu nisan di makam Troloyo di Mojokerto tertera bahwa beliau wafat pada
tahun 1365 M, “Syeikh Jumadil Kubra adalah waliyullah pertama yang masuk di
Nusantara Jawa ini untuk penyebaran agama Islam” (Drs. Sardjono Suradi
Soegondo)
“Beliau datang ke Jawa ini pada zaman
Hayam Wuruk dan meninggal tahun 1365. itu yang tertulis di nisannya. Beliau
Keturunan Abdul Malik yang dikenal dengan keluarga Azmat Khan itu dalam rangka
dakwah dengan pendekatan mengintegrasikan diri di dalam sosiobudaya Nusantara
yang waktu itu tidak hanya mencakup Indonesia, tapi meliputi Malaysia, Brunei,
Thailand bahkan Ka mboja (Campa). Sehingga
dalam rangka adaptasi yang lebih intensif mereka bahkan tidak hanya meninggalkan
gelar-gelar yang sifatnya ke-Araban, tapi diganti dengan Tuan atau Wan kalau di
Malaysia. Bahkan bukan hanya itu mereka juga menikah dengan wanita-wanita
pribumi dan tidak jarang mereka menikah dengan keluarga kerajaan keraton. Itu
semua dalam rangka agar supaya dakwah lebih efektif, lebih mudah diterima dan
tidak terkesan sesuatu yang asing.
Menurut prasasti Kembang Suri bahwa di
jantung Majapahit itu ada masjid besar dan ada makam yang luasnya 4 hektar
(Trowulan). Bagaimana bisa dibayangkan ada makam seluas itu, berarti sudah ada
komunitas Islam, kalau ada komunitas Islam ada masjid, kalau ada masjid ada
imam, ada ulama. Maka dalam prasasti Kembang Suri itu ada kata-kata diwan,
wali, musyawarah, padahal itu di zaman Hayam Wuruk.” (KH. Dr. Dhiyauddin
Qushwandi)
Metode integrasi dan asimilasi budaya yang
dirintis oleh Syeikh Jumadil Kubro ini menjadi panduan Wali Songo dalam
mendakwahkan Islam. Para wali yang merupakan keturunan Ahlulbait tersebut
melebur dalam masyarakat lokal.
“Tokoh Malik Ibrahim dalam prasastinya
sudah jelas disebutkan, tidak ada nama Maulana, jadi hanya disebutkan Syeikh
Malik al-Ibrahim. Dia menggunakan nama lokal dengan sebutan Kakek Bantal, yang
digambarkan dia dimuliakan, dibanggakan oleh raja-raja dan pengeran-pangeran
sekitarnya. Itu penggambaran tentang tokoh tersebut. Nah itu dikaitkan dengan
historiografi di daerah Gresik tentang tokoh ini. Jadi, memang punya hubungan
dengan keluarga Majapahit. Dia mau menikahkan raja Majapahit dengan puteri
Islam, namun kemudian puteri Islam yang bernama puteri Iswari itu sebelum
dinikahkan sudah meninggal lalu dimakamkan di situ. Dalam prasasti disebutkan
tokoh Malik Ibrahim ini berasal dari Kashan, satu daerah di Persia. Jadi, kita
tidak bisa menafsirkan lagi bahwa beliau itu orang Persia, hanya pahamnya apa
kita tidak tahu. Tetapi yang jelas disana digambarkan bahwa beliau adalah orang
dari Kashan, Persia” (Agus Sunyoto, MA)
Dalam prasasti makam Syeikh Malik Ibrahim
tertulis bahwa almarhum wafat pada tahun 822 H, bertepatan dengan tahun 1419 M.
Adik sepupu beliau, yaitu Sunan Ampel datang belakangan ke Jawa sekitar tahun
1440 M.
Menurut penulis buku “Ahlul-Bait of Rasulullah
SAW and Malay Sultanates”, yaitu Haji Muzaffar Dato’ Haji Mohammad, peran
Ahlulbait dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara sangat besar dan penting.
Bukan saja para wali pendakwah Islam, banyak sultan di Asia Tenggara awalnya
adalah keturunan Ahlulbait.
3. GENERASI KE 3 : ISLAM NUSANTARA BERDASARKAN PERAN-
PERAN KERAJAAN ISLAM
Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
Begitu juga di pulau jawa, semenjak
Kerajaan Majapahit mulai mengalami
kemunduran, terdapat kerajaan islam yang muncul, seperti Kerajaan Demak,
Kerajaan Pajang, Kerajaan Islam Mataram, Kerajaan Islam Cirebon, Kerajaan Islam
Banten, dan lainnya.
Kerajaan-kerajaan tersebut pastinya memiliki
banyak sekali pengaruh di masanya. Agar Anda tidak penasaran dengan
kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di Indonesia, kami akan memberikan
sedikit paparan terkait beberapa kerajaan tersebut. Berikut beberapa kerajaan
islam di Indonesia yang harus Anda ketahui.
Kerajaan
Perlak
Kerajaan Perlak atau Kerajaan Peureula
ini didirikan sekitar petengahan abad ke-9 M.
Sedangkan menurut Ishak Makarani Al Fays,
Kerajaan ini didirikan pada 1 Muharram 225 H (840 M). Terdapat beberapa bukti
tertulis yang menyebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan islam pertama
di Indonesia.
1) Tazkirah
Thabakat Jumu Sultan as Salathin, naskah yang dikarangan oleh Syeh Syamsul
Bahri Abdullah.
2) Silsilah
Raja-raja Perlak dan Pasai, naskah yang dikarangan oleh Saiyid Abdullah Ibn
Saiyid Habib Saifuddin.
3) Idharatul
Haq fi Mamlakatil Farlah wa Fasi, naskah yang dikarang oleh Abu Ishak Makarani
Al Fasy.
Ketiga naskah tersebut menyebutkan bahwa
Kerajaan Perlak merupakan kerajaan islam pertama di Indonesia. Terdapat beberapa
peninggalan dari kerajaan ini, yaitu,Makam Raja Benoa Pada batu nisan Raja
Benoa (Benoa merupakan salah satu bagian dari Kerajaan Perlak) ditulis
menggunakan huruf arab. Makan Raja Benoa ini terletak di tepi Sungai
Trenggulona. Diperkirakan nisan ini dibuat sekitar abad ke-4 H tau ke-5 H.
Mata uang perlak Merupakan mata uang tertua di
nusantara, mata uang ini terbagi menjadi 3 jenis, yaitu terbuat dari tembaga
atau kuningan, perak (kupang), dan emas (dirham).
Terdapat stempel kerajaan Negeri Bandahara (kereajaan
yang merupakan bagian dari Kerajaan Perlak) yang menggunakan huruf arab. Pada
stempel tersebut tertulis kalimat “Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara
Syah 512”. Itulah, beberapa peninggalan dari kerajaan yang diperkirakan
merupakan kerajaan islam tertua di Indonesia. sekitar abad ke-12 M Kerajaan
Perlak mulai mengalami kemunduran.
Kerajaan
Samudra Pasai
Marah Silu merupakan raja pertama
sekaligus pendiri kerajaan ini, raja yang mendapat gelar Sultan Malik al Saleh.
Tahun 1297 Sultan Malik al Saleh meninggal, ia digantikan oleh putranya yang
bernama Sultan Mahmud. Pada saat kepemimpinan Sultan Muhammad Malik al Tahir
(1297-1326) kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan dan penyebaran
agama islam.
Pada tahun 1326 Sultan Muhammad Malik al Tahir
meninggal digantikan oleh putranya Sultan Ahmad, sultan yang juga bergelar
Malik al Tahir (1326-1348).
Pada masa kepemerintahan Sultan Ahmad Malik al
Tahir Kerajaan Samudra Pasai berkembang pesat, kerajaan ini banyak menjalin
kerjasama dengan beberapa kerajaan islam di dunia lainnya, seperti
kerajaan-kerajaan di India dan Arab. Pada tahun 1348 Sultan Ahmad meninggal dan
digantikan oleh Sultan Zainal Abidin. Namun, pada tahun 1521 M kerajaan ini
runtuh karena berhasil ditaklukan oleh Portugis.
Keberadaan Kerajaan Samudra Pasai dibuktikan
dengan beberapa peninggalan, seperti makam Sultan Malik al Saleh, makam Sultan
Zainal Abidin, naskah surat Sultan Zainal Abidin, makam Ratu al Aqla, cakra
donya, dan stempel kerajaan.
Kerajaan
Aceh Darussalam
Pada tahun 1528 Sultan Ali Mughayat meninggal
dan digantikan oleh putranya Sultan Salahuddin (1528-1537), kemudian ia
digantikan oleh adiknya yang bernama Sultan Alaudin Ri’ayat Syah (1537-1568),
yang medapat gelar Al Qohhar berkat kegagahan dan keberhasilannya mengusai
beberapa wilayah.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya
pada masa kepemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di bawah
kepemimpinannya Kerajaan Aceh memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luat.
Selain itu, kerajaan ini juga berhasil menjalin kerjasama dengan para pemimpin
islam di Arab. Hubungan yang terjalin tersebut pada masa kekhalifahan
Ustmaniyah.
Kerajaan ini mulai mengalami kemunduran
sejak tahun 1941. Salah satunya adalah karena semakin menguatnya pengaruh
Belanda di Malaka. Kemunduran tersebut ditandai dengan jatuhnya beberapa
wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh ke tangan Belanda. Selain karena faktor
tersebut, juga karena faktor perebutan kekuasaan di antara pewaris kerajaan.
Beberapa peninggalan Kerajaan Aceh, yaitu
Masjid Raya Baiturrahman, makam Sultan Iskandar Muda, meriam Kerajaan Aceh,
Benteng indrapatra, emas Kerajaan Aceh, dan Gunongan.
Kerajaan
Demak
Mereka membangun wilayah kekuasaan islam
dengan menunjuk Raden Patah sebagai raja dari Kerajaan islam pertama di pulau
jawa ini. Setelah diangkat menjadi raja, Raden Patah mendapat gelar Senopati
Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayyidina Panatagama.
Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478.
Palembang, Maluku, Banjar, dan wilayah bagian utara pulau jawa merupakan daerah
kekuasaan Kerajaan Demak. Pada saat ulama penempati peranan penting di dalam
kerajaan, Sunan Kalijaga dan Ki Wanalapa adalah penasehat kerajaan. Tahun 1207
Raden Patah digantikan oleh Putranya yang bernama Pati Unus. Pada masa
kepemimpinannya Adipati Unus atau yang sering dijuluki Pangeran Sabrang Lor ini
bersama dengan Kerajaan Aceh menyerang Portugis yang menduduki Malaka pada saat
itu.
Pati Unus meninggal pada tahun 1521 dan
digantikan oleh adiknya, yaitu Sultan Trenggono. Kerajaan ini mengalami
kemunduran karena perebutan kekuasaan antar pewarisnya. Beberapa peninggalan
Kerajaan demak, yaitu Masjid Agung Demak, Soko Tatal dan Soko Guru, Pintu
Bleedek, Kentongan, Bedug, Dampar Kencana, Pirim Campa, Kolam Wudhu, dan
Makrusah.
Kerajaan
Pajang
Pada tahun 1582 Jaka Tingkir atau Sultan Adi
Wijaya meninggal dan digantikan oleh putranya, Pangeran Benowo. Pada masa
kepemerintahan Pangeran Benowo, Pangeran Arya Pangiri dari Demak mencoba untuk
merebut Kerajaan Pajang, namun mengalami kegagalan. Pangeran Benowo menyerahkan
tahtanya kepada saudara angkatnya, Sutowijoyo
Kerajaan
Mataram Islam
Setelah Raden Mas Jolang meninggal, ia
digantikan oleh Adipati Martapura, karena sering mengalami sakit Adipati
Martapura pun akhirnya meninggal. Selanjutnya ia digantikan oleh Raden Mas
Rangsang yang bergelar Panembahan Hanyakrakusuma, pada tahun 1640 ia mengganti
gelarnya menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma, sekitar tahun 1640an ia mengganti
gelarnya lagi menjadi Sultan Agung Senapati ing Alaga Ngaburrahman
Khalifatullah.
Pada masa pemerintahannya kekuasaaan Kerajaan
Mataran islam sangat luas. Kerajaan ini terletak di bekas wilayah Kerajaan
Mataram Hindu, namun Kerajaan Mataram ini merupakan kerajaan bercorak islam.
Beberapa peninggalan dari Kerajaan mataram
islam, yaitu tahun saka, kue kipo, kerajinan perak, pakaian kyai gundhil,
kalang obong, gapura makah kotagede, batu datar, dan sastra gendhing karya
Sultan Agung.
Kerajaan
Islam Cirebon
Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun
1570 dan digantikan oleh cicitnya yang bergelar Panembahan Ratu. Pada tahun
1650 Panembahan meninggal dan digantikan oleh putranya yang bergelar
Penaembahan Girilaya. Setelah Panembahan Girilaya meninggal Kerajaan Islam
Cirebon dibagi menjadi dua (tahun 1697) oleh kedua puranya, Martawijaya
(Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya (Panembahan Anom).
Beberapa peninggalan dari Kerajaan Islam
Cirebon ini, yaitu Masjid Jami’ Pakuncen, Masjid Sang Cipta Rasa, Keraton
Kacirebonan, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Makan, dan beberapa benda
pusaka.
Kerajaan
Islam Banten
Kerajaan ini didirikan pada tahun 1552 oleh
Sultan Hasanudin, yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati. Setelah berhasil
menaklukan Banten pada tahun 1525 Sunan Gunung Jati menyerahkan kekuasaan
Banten kepada putranya tersebut.
Kerajaan ini mencapai puncak kekuasaannya
pada saat kepemimpinan Ki Ageng Tirtayasa.
Beberapa peninggalan Kerajaan Islam Banten ini, yaitu Istana Keraton
Surosowan Banten, Istana Keraton Kaibon Banten, Masjid Agung Banten, Vihara
Avalokitesvara, Benteng Speelwijk, Meriam Ki Amuk, Danau Tasikardi, Keris Naga
Sasra, dan Keris Panunggul Naga.
Kerajaan
Islam Banjar
Raja pertama dari Kerajaan Islam Banjar
adalah Raden Samudra. Setelah masuk islam mendapat gelar Sultan Suryanullah.
Setelah wafat, ia digantikan oleh Sultan Rahmatullah (1545-1570). Dalam waktu
yang cukup singkat agama islam juga mulai dianut olh masyarakat di Kalimantan,
seperti Bugis, dan masyarakat bagian timur Kalimantan. Peninggalan dari
Kerajaan Islam Banjar, yaitu Masjid Sultan Suriansyah dan Candi Agung Amuntai.
Kerajaan
Kutai Kalimantan Timur
Islam mulai masuk di Kerajaan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura ini sekitar abad ke-17 M, yang dibawa oleh Tuan
Tunggang Parangan. Karena raja pada saat itu telah memeluk agama islam sehingga
ia segera membangun sebuah masjid di daerah tersebut. Selain membangun sebuah
masjid, ia juga membuka pengajaran agama islam.
4. GENERASI KE 4 : UTUSAN PARA DA’I ISLAM KE NUSANTARA
Tak banyak orang yang tahu, siapa
sebenarnya Walisongo itu. Dari mana mereka berasal. Apa peran mereka dan
bagaimana menyebarkan Islam. Tidak mungkin mereka tiba-tiba ada, seolah turun
dari langit.
Sejarah telah mencatat bahwa misi dakwah Islam
secara khusus ke tanah Jawa. Telah dikirimkan tim dakwah atas perintah Sultan
Muhammad I pada tahun 1404 M. Saat itu ia menjadi penguasa Khilafah Turki
Utsmani (1394 – 1421 M). Tim dakwah itu dikenal dengan nama Walisongo. (Rahmad
Abdullah, Wali Songo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa. Hal, 62).
• Walisongo
Utusan Turki
Tanah Jawa menjadi wilayah terpenting bagi
penyebaran dan pengembangan agama Islam di Nusantara sejak berabad-abad lampau.
Keterkaitan antara Islam dan Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran dan kerja
keras dakwah para Wali di Tanah Jawa.
Walisongo itu merupakan tim dakwah. Pembentukan
lembaga dakwah walisongo pertama kali dilakukan oleh Sultan Turki, Muhammad I.
Pada waktu itu Sultan Muhammad I menerima laporan dari para saudagar Gujarat
(India) bahwa di Pulau Jawa jumlah pemeluk agama Islam masih sedikit.
Pendapat lain menyatakan, awal mula kedatangan Walisongoadalah
ketika terjadi pertempuran di Jawa yaitu sebuah suksesi kepemimpinan Majapahit.
Peperangan itu dikenal dengan perang Paregreg.
Para saudagar Gujarat yang beragama Islam
memberitahukan kepada Sultan Muhammad I bahwa di Jawa sedang terjadi perang
saudara. Sehingga Sultan Muhammad I mengutus beberapa orang dengan keahlian di
bidang irigasi dan paham agama Islam untuk misi kemanusiaan. (K. Subroto,
Kesultanan Demak Negara Yang Berdasarkan Syari’at Islam di Tanah Jawa. Hal 14).
Sultan Muhammad I kemudian mengirimkan
sekelompok tim dakwah islamiyah. Anggota dari tim dakwah ini dipilih dari
orang-orang yang memiliki kemampuan di berbagai bidang terutama bidang ilmu
agama.
Untuk membentuk Tim ini, Sultan Muhammad I
mengirimkan surat pada para pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isi dari
surat perintah itu adalah meminta dikirimkannya beberapa ulama yang mempunyai
keahlian.
Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu
kemudian dibentuk sebuah tim dakwah. Anggotanya berintikan sembilan orang yang
ditugaskan menjadi penyebar agama Islam di pulau Jawa. Kemudian timdakwah
berangkat pada tahun 1404 M.
Tim dakwah ini dipimpin oleh
SyekhMaulanaMalik Ibrahim (Sunan Gresik) yang berasal dari Turki. Beliau adalah orang yang ahli agama dan juga
ahli irigasi yang dianggap piawai dan pintar dalam mengatur negara.
Begitu sampai di Tanah Jawa, tim sembilan ini
langsung melakukan pertemuan untuk merancang rencana kerja. Oleh sebab itu,
pertemuan pada tahun 1404 M yang dihadiri oleh seluruh anggotanya dianggap sebagai
sidang Walisongopertama yang kemudian disebut sebagai Walisongoangkatan
pertama. Karena dalam tim dakwah Walisangoini terdiri dari beberapa angkatan.
Berdasarkan sumber kitab Walisana, Babad
Tanah Djawi, Babad Tjirebon, dan Primbonmilik Prof K.H.R. Moh Adnan. Walisongo
pada dasarnya adalah semacam lembaga dakwah yang berisi tokoh-tokoh da’i yang
berdakwah secara terorganisir dan sistematis melakukan usaha-usaha pengisalaman
masyarakat Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Masing-masing anggota memiliki tugas
spesifik untuk satu tujuan mendakwahkan Islam.
Meskipun tiap-tiap wali menggunakan cara
berbeda, namun semuanya terintegrasi dengan adanya mekanisme musyawarah
timWalisongo. Beberapa hal yang dilakukan oleh Walisongo antara lain;
Mendirikan masjid sebagai pusat dakwah dan kekuatan umat. Mendirikan
pesantren-pesantren sebagai pusat kaderisasi dan pembinaan. Penguatan jaringan
dengan menikahkan putri dan santrinya dengan anak bangsawan keluarga kerajaan
Majapahityang telah didakwahi dan masuk Islam.
Pengiriman kader-kader pondok pesantren
untuk terjun ke masyarakat sebagai mekanisme pemberdayaan santri. Memenuhi
kebutuhan pokok masyarakat dengan berdagang, membuka warung dan pengobatan.
Seruan dakwah langsung kepada penguasa bagian
dari upaya diplomasi. Jihad melawan kekuatan Syiwa-Budha dan Portugis. Dan
membangun kekuasaan politik Islam dengan mendirikan kerajaan-kerajaan Islam.
Rencana Penguasaan Politik Islam
(SiyasahSyar’iyah) dalam dakwah Walisongotelah dipersiapkan oleh Maulana Malik
Isroif, anggota Walisongoangkatan pertama. Ketika berdakwah di Cilegon,Jawa
Barat, beliau mempunyai beberapa orang murid yang dipersiapkan untuk menjadi
raja, diantaranya MaulanaAinulYaqin (SunanGiri) dan SyarifHidayatullah (Sunan
Gunung Jati).
Saat itu Maulana Malik Isroiltelah
mengajarkan ilmu SyiyasahSyar’iyahpada santrinya sebagai bekal menjadi seorang
pemimpin. Kitab-kitab yang diajarkan antara lain; Al Muqadimah karya Ibnu
Khaldun, As SyiyasahSyar’iyah dan Al HisbahFil Islamkarya Ibnu Taimiyah serta
kita karya al Mawardi, Al Ahkam As Sulthoniyah.
Kitab-kita tersebut membahas sistem politik
Islam, aturan pemerintahan, hukum dan undang-undang, serta berbagai upaya untuk
perbaikan pejabat dan rakyat dalam bingkai syari’at Islam. Dan terutama untuk
menegakkan kewajiban Amar Ma’rufNahiMunkardalam wilayah kekuasaan Islam.
• Aksi
Dakwah Walisongo
Proses islamisasiJawa telah melewati
kurun masa yang panjang jauh sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa Walisongo
merupakan salah satu dari mata rantai estafet dakwah yang berjalan.
Kesuksesan dakwah era Walisongo banyak
ditentukan oleh kekompakan gerakan dan kesadaran masing-masing individu untuk
mengambil peran serta dalam rangka dakwah dan jama’ah. Perencanaan yang matang,
pengorganisasian yang tepat, dan penguasaan medan turut memberikan andil bagi
keberhasilan tahapan islamisasi jawa.
Tugas dakwah Walisongo belumlah usai.
Namun tugas ini tetap menjadi tugas bagi kaum muslimin. Sudah seharusnya
sejarah Walisongo bisa diambil pelajarannya. Meskipun mereka seorang ahli dalam
irigasi tetapi digunakan untuk Islam. Ahli dalam bidang pengobatan, skill ini
juga dijadikan sebagai wasilah untuk dakwah Islam. Adapula yang menjadi
penguasa, maka kekuasaannya digunakan untuk kemajuan Islam. Pertanyaannya apa
kontribusi kita bagi Islam ini.
Jalan perjuangan menegakkan Islam belum
berakhir, namun masih panjang. Diperlukan SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA
(Sumber Daya Alam) yang dipergunakan menopang laju dakwah dan jihad ini.
Kemudian untuk mencapai tujuan itu, diperlukan pula strategi yang jitu
sebagaimana diajarkan para salaf shalih. Serta dilandasi keyakinan bahwa masa
depan adalah milik Islam.
Wali Songo memiliki peran yang sangat
signifikan dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, utamanya. Bagaimana
tidak, selama tujuh abad lamanya –sejak abad ke-7 hingga ke-14- Islam
‘tertolak’ di wilayah Jawa. Namun pada saat akhir abad ke-14 atau awal abad
ke-15, hampir semua masyarakat di pesisir pantai utara Jawa sudah memeluk
Islam. Tidak lain itu diyakini sebagai hasil dakwah dari Wali Songo.
Oleh sebab itu, ada penilaian kalau
dakwah Wali Songo adalah dakwah yang paling sukses dan berhasil karena mampu
mengislamkan masyarakat Jawa. Yang tidak kalah menarik, perubahan masyarakat
Jawa, dari agama sebelumnya –Hindu, Budha, Kapitayan, dan lainnya, menjadi
Muslim, hanya berlangsung sekitar 50 tahunan. Lagi-lagi, itu merupakan hasil
dari kecanggihan dan kejeniusan dakwah Wali Songo.
Lantas, bagaimana ada apa strategi dakwah yang
dilakukan Wali Songo sehingga membuahkan hasil yang gemilang seperti itu? Dalam
buku Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan Islam
Transnasional (Imdadun Rahmat, 2017), setidaknya ada lima pendekatan dakwah
yang digunakan Wali Songo.
Pertama, pendekatan teologis. Maulana
Malik Ibrahim dan Sunan Ampel adalah yang menggunakan pendekatan ini. Mereka
berdakwah bahkan hingga ke tingkat lapisan masyarakat paling bawah (waisya dan
sudra) saat itu. Masyarakat diajari tentang nilai-nilai Islam, perbedaan antara
pandangan hidup Islam dengan yang lainnya, dan menanamkan dasar-dasar Islam.
Kedua, pendekatan ilmiah. Tidak seperti
dua sunan sebelumnya, Sunan Giri berdakwah dengan cara menggunakan pendekatan
ilmiah. Ia membangun pesantren, membuat pelatihan dan pengkaderan, serta
menugaskan muridnya untuk berdakwah di suatu tempat.
Tidak hanya itu, Sunan Giri juga menggunakan
permainan sebagai medium untuk berdakwah. Oleh karena itu, ia menciptakan
permainan anak-anak seperti jemblongan, tembang syair seperti ilir-ilir, padang
bulan, dan lainnya. Singkatnya, Sunan Giri mengembangkan dakwah secara
sistematis dan metodologis.
Ketiga, pendekatan kelembagaan. Tidak
semua anggota Wali Songo berdakwah di masyarakat langsung. Ada juga yang
berdawah di pemerintahan. Mereka adalah misalnya Sunan Kudus dalam Kesultanan
Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati di Kesultanan Cirebon. Mereka ikut serta
mendirikan kesultanan dan aktif di dalamnya. Mereka memiliki pengaruh yang
besar di kalangan bangsawan, birokrat, pedagang, dan kalangan elit lainnya.
Keempat, pendekatan sosial. Sunan Muria
dan Sunan Drajat lebih senang hidup jauh dari keramaian. Mereka memilih untuk
berdakwah pada masyarakat kecil di desa-desa atau kampung-kampung. Mereka
mengajarkan masyarakat kecil untuk meningkatkan pemahaman keagamaannya. Mereka
juga membina masyarakat agar kehidupan sosialnya meningkat.
Kelima, pendekatan kultural. Dalam
berdakwah, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang lebih menonjol menggunakan
pendekatan kultural. Mereka sadar bahwa budaya adalah sesuatu yang sudah
mendarah daging di masyarakat. Jika langsung ditolak, maka masyarakat akan emoh
mengikutinya. Solusinya, keduanya melakukan islamisasi budaya. Budaya-budaya
yang sudah ada dan berkembang disisipi dengan ajaran-ajaran Islam. Tidak hanya
itu, mereka juga menciptakan budaya-budaya baru yang mengandung nilai-nilai
Islam. Diantara produk budaya yang mereka ciptakan dan masih ada hingga hari
ini adalah Gamelan Sekaten (dari kata syahadatain), Gapura Masjid (berasal dari
kata ghofura), baju takwo (dari kata takwa), dan lain sebagainya.
Disadari atau tidak, dakwah merupakan
kunci utama untuk memperkenalkan Islam kepada mereka yang tidak atau belum tahu
tentangnya. Berhasil atau tidaknya dakwah sangat dipengaruhi oleh orang yang
melakukan dakwah itu sendiri. Sejauh mana ia memahami ajaran agama Islam.
Sejauh mana ia mengenal sasaran dakwahnya (masyarakat). Dan seberapa lihai ia
mentransformasikan ajaran agama Islam kepada masyarakat sehingga diterima
dengan baik.
Melalui lima pendekatan di atas, Wali
Songo terbukti mampu mengislamkan hampir seluruh masyarakat di pesisir pantai
utara Jawa dalam tempo waktu yang cukup singkat. Diakui atau tidak, itulah
dakwah yang sangat gemilang. Dari situ, umat Islam kini bisa saja mencontoh
atau meneladani apa yang telah dikerjakan Wali Songo. Tentunya dengan melakukan
penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dengan situasi dan kondisi masa kini
Catatan Khusus : generasi ke Lima ke Enam dan sampai Sekarang Generasi ke
tujuh tentang penyebaran islam di indonesia ,
penyusun belum menyusun di karnakan waktu yang terbatas dan sumber yang
belum lengkap
C. AWAL MULA NAMA PESANTREN DAN SANTRI
Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya
dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara lain
melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Istilah pesantren sendiri berasal dari
kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu).
Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan
dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam
tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di
Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa
sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan
keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk
dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari
pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin
lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang
mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di
Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri
melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam
pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom,
1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai
lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad
ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal
Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah
Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan
pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya
melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau
Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada
tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel
Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa
Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren
Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan,
Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat
kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di
Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen,
belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum
abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal.
Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari
orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji
atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di
sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga
memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat
berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya.
Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila
memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada
abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan
sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo)
juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan
adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan
upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang
Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam
penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa
Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan
Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah
(ed.), 2002: 22)
Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat
Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di
Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu
tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul
Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah
Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan
seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki
Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di
desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam
tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22)
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren membekali santrinya dengan ilmu hidup, mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai
budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan.
Dari pesantren, Menag mengaku
memahami peran nilai-nalai agama dalam
menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang
sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik
temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
mengapresiasi kiprah pondok pesantren
sebagai jantung pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah
arus globalisasi. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang
hidup di dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi
berbagai tantangan, rintangan, dan halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan,
kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur
Menag. Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak
ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi
keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah
pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak
bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap
mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa
entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai,
baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang
mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri
mempunyai jiwa ke thawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada
kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang
menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud
adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam
kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya.
Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu
pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri.
Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah
pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya.
Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap
menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa
yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa depan santri,”
urai Menag panjang lebar.
Demikianlah, pesantren menjadi pusat
penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh
posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya
di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang
spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat
sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan
memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan wali
dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata
rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan
nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan
akhirat. (Brunessen, 1999:20).
D. SEJARAH
PESANTREN MIFTAHUSSA’ADAH
a. Gambaran
Umum Pondok Pesantren Miftahussa’adah Cibaliung,
1) Letak
Geografis
Pondok Pesantren Miftahussa’adah Soreang,
Cibaliung ini terletak di Kampung Soreang, Desa Sukajadi, kecamatam Cibaliung,
Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Alamat Pondok Pesantren Miftahussa’adah
yang berada di jalan Raya Cibaliung Km.2 Kp.Soreang Ds.Sukajadi Kec.Cibaliung
42285, E-mail Yamis.pontren@gmail.com.
Secara Geografis, jarak tempuh Kampung
Soreang adalah kurang lebih 1,5 KM dari kantor Desa Sukajadi, 1 KM dari
kecamatan, 45 Km dari Kabupaten, dan 50 KM dari Kota Propinsi,dan 50 M dari
pusat Pasar Sukajadi Cibaliung.
2) Sejarah
Berdiri dan Perkembangannya
Pondok Pesantren Miftahussa’adah
Soreang/Borexel berdiri tanggal 1 November 2000
M / 04 Sa’ban 1421 H, pada awalnya Pondok Pesantren Miftahussa’adah
adalah Pondok Pesantren yang hanya mengkaji Kitab Kitab Kuning akan
tetapi,seiring dengan perkembangan zaman yang menuntut SDM yang seimbang antara
pendidikan Agama (Pesantren) dan pendidikan formal, maka Pondok Pesantren
Miftahussa’adah pun berkembang dengan berdirinya pendidikan formal yang
dirintis mulai dari Madrasah Tsanawiyah(MTs), Madrasah Aliyah (MA) Dan
Alhamdulillah dari tahun ke tahun dengan perjuangan, pengorbanan serta dukungan
dari segenap warga masyarakat, Pondok Pesantren Miftahussa’adah sudah mampu
berkiprah di masyarakat.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren
Miftahussa’adah, Pondok Pesantren Miftahussa’adah soreang/borexel di dirikan 1
November 2000 M / 04 Sa’ban H, yang didirikan oleh K.Hapidudin,beliu adalah
Alumni dari Pondok Pesantren Irsaadu Sa’adah
Saketi -Pandeglang-Banten, bersama Istrinya Umi juju Subaikah beliu
adalah Alumni dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Manon Jaya-Tasikmalaya.
Asal usul di namai Pondok Pesntren
Miftahussa’adah di ambil dari dua Pondok Pesantren, yaitu Pondok Pesantren Miftahul huda Saketi-Pandeglang-Banten, dan Irsadussa’adah Manonjaya-Tasikmalaya, Umi Juju Subaikah
membawa nama Miftah, dan K.Hapidudin membawa nama Assa’adah, kemudian dari dua nama tersebut di
gabungkan menjadi Miftahussa’adah yang mempunyai arti Miftah artinya kunci dan Asaa’adah artinya
kebahagian (kunci kebahagiaan).
Kegiatan belajar mengajar pada tahun
2000-2003 menggunakan sistem gabungan pengajian dengan tida di beda-bedakan
antara Santri yang lama dengan yang baru ,setelah di evaluasi selama tiga tahun
dengan cara tersebut kurang efektif, dan pada tahun 2004 sistem pembelajaran di
Pondok Pesantren Miftahussa’adah di rubah dengan sistem klasikal dari Kelas
satu s/d Empat dengan bertahap, menerapkan kurikulum pendidkan Ulama Salaf.
Pada tahun 2010 sistem pendidikan klasikal
masih tetap di pertahankan sampai sekarang akan tetapi jengjang pendidikanya di
sempurnakan dengan di adakanya Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
,sebagai ikhtiyar untuk mempersipkan kader bangsa beroleh ilmu ke islaman dan
pengetahuan umum.
Dalam perjalanan sejarahnya, mula-mula
K.Hapidudin menyediakan sebuah ruangan (Cobong) yang jumlahnya masih sedikit
lama kelamaan Pondok pesantren Miftahssa’adah tersebar keplosok perkampungan di
karnakan K.Hapaidudin selalu memberikan tausiyah ke berbagai ploksok
perkampungan, hingga banyak orang tua yang mendaftarkan Anaknya ke Pondok
Pesantren Miftahussa’adah.
Pada awal berdirinya pendidikan santri
langsung ditangani oleh Abi (panggilan untuk K.Hapidudin) karena saat itu
santrinya baru beberapa orang dan memungkinkan untuk ditangani sendiri. Namun
setelah jumlah santrinya semakin banyak dan tidak mungkin ditangani sendiri,
maka untuk menjalankan sistem pengajaran santri selain ditangani langsung oleh
Abi (panggilan untuk K.Hapidudin), juga dibantu oleh beberapa Santri senior,
dan untuk pelaksana harian ditangani oleh kepengurusan yang merupakan bagian
dari kepengurusan pondok pesantren ini.
Setelah kependidikan berjalan, dan
perkembangan santri yang semakin bertambah, dirasa perlu adanya penanganan
tersendiri agar lebih terarah tercapainya tujuan pendidikan. Maka pada tahun 2001
dibentuklah kepengurusan tersendiri untuk menangani masalah kependidikan yang
terlepas dari kepengurusan pondok pesantren. pada awalnya, perkembangan
kepengurusan tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik, namun pada tahun 2002
pendidikan santri ditangani oleh sebuah kepengurusan tersendiri yang mulai
terorganisir.
Kepengurusan Pondok Pesantren
Miftahussa’adah yang di mulai kepengurusan priode pertama yaitu oleh mang didi
tahun 2001-2003 dengan jumlah 20 Santri, priode ke dua oleh mang Didin tahun
2003-2005 dengan jumlah 50 Santri, priode ke tiga oleh mang Arjani pada tahun
2005-2007 dengan jumlah Santri sekitar 80 santri, priode ke empat oleh mang
supyani pada tahun 2007-2009 dengan jumlah santri 120 santri, priode ke lima,
oleh Mang Arifin pada tahun 2009-2011 dengan jumlah santri sekitar 150 Santri,
priode ke enam pada tahun 2011-2013 yaitu oleh Mang Jafar dengan jumlah Santri
Sekitar 180 santri, dan priode ke tujuh pada tahun 2013-2019 oleh Mang sadam namun hanya satu hari satu malam yang di tunjuk langsung oleh para pengurus ketika pengesahan oleh abi dan umi ternyata abi dan umi tidak setuju di karnakan mang sadam itu terlalu banyak pekerjaan di administrasi maka oleh sebab itu terjadilah pembubaran biarpun satu hari satu malam jangan di lupakan kemudian jatuh pemilihan kepada mang Aang preode 2013-2019 dengan jumlah santri 250 santri, Prode Ke tujuh pada tahun 2019 sampai Sekarang
yaitu oleh Mang Ipung dengan ju,lah santri 350.
dengan tenaga pengajar/ustadz 17 orang
dibantu oleh santri-santri masa pengabdian total 35 orang. Dan juga perangkat
pesantren dilengkapi dengan susunan personalia yang lengkap dengan pedoman umum
serta tata tertib santrinya
3) Struktur
Organisasi
Pondok Pesantren Miftahussa’adah dalam
menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya telah ditangani oleh suatu
kepengurusan yang dilengkapi dengan struktur dan personalianya. Kepengurusan
ini dimaksudkan agar kelangsungan dan ketertiban bisa terjaga dengan baik,
serta untuk mempermudah dan memperlancar para santri dalam menekuni dan
mendalami ilmu-ilmu kepesantrenan. Selain itu, kepengurusan ini dimaksudkan
untuk membantu Kyai dalam mengemban amanat para wali santri yang
4) Keadaan
Kyai
Pengasuh dalam hal ini merupakan pimpinan
tertinggi dalam sebuah Pondok Pesantren, yang juga berpeeran sebagai pengelola,
pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan terhadap segala keputusan yang
diambil, sebab pengasuh merupakan pendiri sekaligus pemilik pondok pesantren ini.
meskipun demikian, pengasuh akan meminta pertimbangan kepada pengurus juga
santrinya sebelum mengambil keputusan bagi keberlangsungan pesantren.
Pondok Pesantren Miftahussa’adah yang
terletak di Kampung Soreang/Borexel Sukajadi-Cibaliung ini diasuh oleh seorang
kyai yang bernama K. Hapidudin. Beliau adalah putra
Abah Memed, Ibunya bernama Nurizah,
Istrinya bernama Juju Subaekah( Alm) K.Hapidudin dilahirkan pada tanggal 25 Februari 1969 M, bertepatan dengan tanggal 8 Dzul Hijjah 1388 H, di Lame Luhur, Menes-Pandeglang.
Pendidikan yang di ampuh yaitu Pendidikan
Formal dan Pendidikan Non Formal/PLS, Pendidikan Formalnya pertama sekolah di SDN Babakan Kidul Menes, kemudian dilanjutkan
ke MTs Malnu Tegal Lega menes,Sekarang MTs
Atawun menes, beliu sejak kecil di didik Ilmu agama oleh sang ayah
yaitu Abah Memed kemudian Mondok ke Pesantren
Irsadussa’adah Saketi Pengasuhnya yaitu KH. Nurdin, dilanjutkan ke
Pesantren Abuya Dimyati, Cidahu-Pandeglang, Pesantren Bahrul Hikam Kadu Dampit Labuan, KH.Daudi Sidik,
Pesantren Al-Magfiroh Banjar Kulon Menes, KH.
Iljam Jamahsyari, Pesantren Wasilatul
HIdayah Gonggong Menes, KH. Rifa’i, Kadomas-Pandeglang, KH. Kurdi,
Pesantren Darul Hikam Ciberem Sukabumi, KH.
Ridwan, KH. Hasir, KH. Yahya, KH. Aden, Pesantren Cipanengah Sukabumi, KH. Pahrudin, Pesantren Sukaraja,
KH. Ridwan, KH. Asep,Pesantren Buni
Kasih Ci Anjur. KH. Fatah, Pesantren
Minhajul Karomah Banjar Ci Amis, KH Mumu,
Pesantren Riyadu Tafsir Pagentongan Bogor, KH.
Asep, Pesantren Al-Firoq Riyadul
Alfiah Kadu Kaweng Pandeglang, KH. Mama Sanja,
Keberadaan rumah kyai yang masih satu
komplek dengan asrama santri juga semakin mempermudah pengasuh untuk mengontrol
dan mengawasi aktivitas santrinya. Beliau sangat memperhatikan
santri-santrinya, terutama jika ada diantara santrinya yang tidak mengikuti
pengajaran, maka beliau akan memanggilnya. Oleh karena itu beliau sangat
disegani dan dihormati oleh santri-santrinya.
Adapun interaksi positif antara kyai dan
santri dalam pesantren lebih menyerupai sebuah keluarga besar yang penuh tata
krama kehidupan islami sebagai sarana untuk mengarahkan santri kepada tujuan
pendidikan pesantren yang diharapkan.
5) Keadaan
Ustadz
Ustadz yang mengajar di Pesantren
Miftahussa’adah ini, semuanya adalah Santri senior. Di antara para ustadz ada
yang juga menempuh pendidikan di luar pesntren di samping belajar di pesantren,
Ada beberapa kriteria yang diperuntukkan bagi para ustadz yang diterima
mengajar di Pesantren Miftahussa’adah ini;
Mempunyai
kemampuan materi yang diajarkan,
Berkepribadian
baik, sehingga dapat dijadikan sebagi suri tauladan yang baik
Mempunyai keyakinan
dan sifat kemandirian
sesuai dengan lingkungan
di Pesantren Miftahussa’adah ini,
Ikhlas mengbdikan
diri dan bersemangat
tinggi sebagai tenaga
pengajar di Pesantren
Miftahussa’adah.
SANAD ILMU K. HAPIDUDIN PENGASUH PONPES MIFTAHUSSADAH
DARI PONPES DARUL HIKAM CIBEREM SUKABUMI.
1. Ponpes darul hikam
a. K.H Aden bin
K.H mahmud zamahsyari
b. K.Deden bin K.H
hasan as_sydzili
c. K.H Ridwan
Hidayat
d. K. Mahmud Yahya
bin K.H Mahmud zamhsyari
2. K.H Hasan As-sydzili Bin K. Mahmud Zamahsyari
3. Pesantren Gentur
a. Syaikh Ahmad
Syatibi Ci anjur
b. Syaikh Qurtubi
Ci anjur
4. Syaikh Ahmad Syuja'i Tasik malaya
5. Syaikh Hasan Musthofa Bandung
6. Syaikh Abdul Muhyi pamijahan
7. Syaikh Jainudin Al- Malaibarii
8. Syaikh Ibnu hajar al-haetami
9. Syaikh zakariya Al-Ansori
10. Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolani
11. Syaikh Abdurrohim Al-Aroqii
12. Syaikh Athouddin Al-Athorii
13. Syaikh Muhyiddin An-Nawawi
14. Syaikh Al-Ardabili
15. Syaikh Mahmud Bin Yahya
16. Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghojali
17. Imam Al-Haromain
18. Syaikh Abdullah Al-Juwaini
19. Imam abu bakar Al-qofal
20. Imam ibrohim al-Muroji
21. Imam abu anas bin Syuraij
22. Imam abu sa'id Al-Atbathi
23. Imam ibrohim al-Muzani
24. Imam Asy-Syafii (abu abdillah bin idris)
25. Imam maliki (malik bin Anas)
26. Imam nafi'
27. Syiduna Abdullah bin Umar
28. Syaiduna Muhammad SAW.
Alkatib Sadam Al- Margali ,
sumber
dari K. Deden putra K.H Hasan As-syadzili
pengasuh pesantren darul hikam sukabumi.
الى
حضرة النبى صلى الله عليه وسلم وبعلومهم وبمعونتهم
وبكرمتهم بسببهم والمعونة والكرمة والبركة والشفاعة والاجابة والاجازة اسألك نفعنا
الله . الفاتحة
Daftar Pustaka
Sumber : Majalah
An-Najah Edisi 152 Rubrik Jelaja
Wawancara Pengasuh Pondok Pesantren Miftahussa’adah
,K.Hafidudin Beserta Istrinya,Umi Juju
wawancara dengan Rois pondok Pesantren Miftahussa’adah
dan para Pengurus Pesantren