Minggu, 14 Juli 2019

SEJARAH PONDOK PESANTREN MIFTAHUSSADAH


قصير 

معهد مفتاح السعادة

في كومفليك النوى
دي سوسون اوليه
للعبد الفقير سدم سكنة الجيكراى البنتاني
غفر الله له ولوالديه ولمشائخيه ولجميع المسلمين
والمسلمات والمؤمنين والؤمنات
امين

A.        PENGERTIAN SEJARAH
Sejarah berasal dari bahasa Arab yang berarti Sajaratun yang berarti pohon yang bercabang-cabang, karena sejarah merupakan kembangan dari satu titik kejadian saling berkaitan sehingga alur yang saling berkaitan, hal inilah yang kemudian digambarkan seperti pohon yang bercabang.
Dalam bahasa Yunani, sejarah berasal dari kata Historia yang berarti ilmu pengetahuan yang bersumber dari penelitian yang mendalam. Dalam bahasa Inggris, sejarah berasal dari kata History yang berarti kejadian masa lampau, kejadian masa lampau manusia.

B.        MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA ATAU INDONESIA
Masuknya agama islam ke nusantara  banyak teori yang mengungkapakan tapi yang di domina adalah tiori  Arabia/mekah, dan masuk islam ke nusantara terdiri beberapa generasi.
1.         GENERASI KE 1 : HUBUNGAN  KERAJAAN SRIWIJAYA DENGAN KHALIFAH ISLAMIYAH
Sriwijaya merupakan kerajaan Budha tertua dan terbesar di Nusantara.  Anda jika sebagian warga Sriwijaya sudah banyak yang memeluk Islam sebagai agamnaya. Sriwijaya juga menjalin hubungan begitu akrab dengan kekhalifahan Islam zaman Bani Umayah (661-750 M) dan Bani Abasiyah (750-1256 M). Bahkan, Sriwijaya pernah dipimpin oleh seorang raja Muslim bernama Sri Indrawarman. Di masa kekuasaannya, Sriwijaya dikenal sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”.
Sebelum kedatangan imperialisme dan kolonialisme pasukan salib yang dipelopori Portugis dan Spanyol, hubungan antar pemeluk agama di Nusantara berjalan dengan amat baik. Orang-orang Islam yang terdiri dari para pedagang Arab dan beberapa penduduk pribumi Sumatera, bergaul dengan harmonis dengan umat Hindu yang diwakili para pedagang India, dan juga dengan umat Budha yang diwakili kerajaan Sriwijaya. Bahkan Sriwijaya memiliki hubungan resmi yang sangat erat dengan Daulah Islamiyah.Di masa Bati Umayyah dan Bani Abbasiyah, Daulah Islamiyah mengirim duta -duta resminya ke berbagai pusat peradaban di seberang lautan seperti Tiongkok dan Sriwijaya, yang dalam pengucapan lidah mereka disebutnya sebagai Zabqj atau Sribuza.
Di masa Sriwijaya sendiri tengah berada pada zaman keemasan. Wilayah kekuasaannya di utara merambah sampai Semerumjung Malaka, sedang di selatan hingga Jawa Barat. Salah satu bukti eratnya persahabatan antara Sriwijaya dengan Daulah Islamiyah adalah dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan Raja Sriwijaya kepada khalifah Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.’ Surat pertama ditemukan dalam lemari arsip Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr, yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan lagi kepada Al-Haytsam bin Adi. Yang mendengar surat itu (Lori AI-Haytsam menceriterakan kembali pendahuluan surat tersebut “Dari Raba Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istanarga terbuat dazi emas dan Perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besaryang mengairi pohon gaharu, kepada Muamzjah….
Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuii pada tahun 1000 Masehi menulis sebuah kitab yang menggambarkan betapa di zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim. Perkampungan itu berdiri di dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hanya karena hubungan yang teramat baik dengan Dunia Islam, Sriwijaya membolehkan warganya yang memeluk agama Islam hidup dalam damai dan memiliki perkampungannya sendiri di mana di dalamnya berlaku syariat Islam.’ Jadi semacam daerah istimewa.
Hubungan itu berlanjut hingga di masa kekuasaan Bani Umayyah dengan khalifahnya Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Ibnu Abdul al Rabbih secara lebih lengkap memuat korespondensi antara Raja Sriwijaya kala itu, Raja Sri Indrayatman (Sr’ Indrawarman) dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu. Salah satu isi suratnya berbunyi, “Dari Raja di Raja (Malik al amlak) yang adalah kemrunan seribu raja; yang beristeri juga tutu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu galab; yang di wilayabnya ter-dapat duo sungai yang mengairi pohon gaharu nan harum, bumbu-bumbu n’emangian, pala, dan kapur barusyangsemerbak wanginya bingga nzenjangkau yarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengitimkan kepada Anda hadthb, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda perrahabatan. Dengan seculars bail, soya login Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada sqya dan memelaskan kepada soya tentang bukum-hukumnya.” Ini adalah surat dari Raja Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang baru raja diangkat menggantikan Khalifah Sulaiman (715-¬717M).

Khalifah Sulaiman merupakan khalifah yang memerintahkan Trariq Bin Ziyad membebaskan Spanyol. Pada masa kekuasaannya yang hanya selama dua tahun, Khalif Sulaiman telah memberangkatkan satu armada persahabatan berkekuatan 35 kapal perang dari Teluk Persia menuju pelabuhan Muara Sabak (Jambi) yang saat itu merupakan pelabuhan besar di dalam lingkungan Kerajaan Sriwijaya. Armada tersebut transit di Gujarat dan juga di Pereulak (Aceh), sebelum akhirnya memasuki pusat Kerajaan Zabag atau Sribuza (Sriwijaya).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengutus salah seorang ulama terbaiknya untuk memperkenalkan Islam kepada Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman, seperti yang diminta olehnya. Tatkala mengetahui segala hal tentang Islam, Raja Sriwijaya ini tertarik. Hatinya tersentuh hidayah. Pada tahun 718, Sri Indrawarman akhirnya mengucap dua kalimat syahadat. Sejak itu kerajaannya disebut orang sebagai “Kerajaan Sribuza yang Islam”. Tidak lama setelah Sri Indrawarman bersyahadat, pada tahun 726 M, Raja Jay Sima dari Kalingga (Jepara, Jawa Tengah), putera dad Ratu Sima juga memeluk agama Islam.’
Data-data tentang Islamnya Raja Sriwijaya memang begitu minim. Namun besar kemungkinan, Sri Indrawarman mengalami penolakan yang sangat hebat dari lingkungan istana, sehingga raja-raja setelahnya kembali berasal dari kalangan Budha. H. Zainal Abidin Ahmad hanya mencatat: “Perkembangan Islam yang begitu ramainya mendapat pukulan yang dahsyat semenjak Kaisar-Kaisar Cina dari Dinasti Tang, dan juga RajaRaja Sriwijaya dari Dinasti Syailendra melakukan kezaliman dan pemaksaan keagamaan.”‘
Setidaknya terdapat tiga teori atau pendapat yang  cukup populer mengenai hal tersebut.  Pendapat pertama menyebutkan, Islam masuk ke Indonesia dari Persia pada abad ke XIII . Sesuai dengan bukti-bukti sejarah adanya beberapa bentuk upacara simbolik keagamaan seperti pada peringatan 10 Muharram sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah Saw, di beberapa tempat di Sumatra.
Pendapat kedua yang diusung oleh Snouck Hurgronje menjelaskan, Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Daerah Gujarat, Bengali, dan Malabar merupakan asal masuknya Islam di Nusantara. Teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal yaitu pada abad XII dan XIII. Berbeda dengan pendapat pertama dan kedua, pendapat ketiga mengungkapkan, Islam datang langsung dari Arab
pada abad ke VII. Islam masuk ke Indonesia pada masa abad pertama Hijriah bahkan pada masa Khulafaur Rasyiddin. Islam Ekspedisi ke Indonesia telah dilakukan pada masa Abu Bakar Ash Shidiq dan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah setelahnya. Dalam sumber-sumber literatur Cina menyebutkan bahwa menjelang seperempat abad VII, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatra. Manakah teori atau pendapat yang sebenarnya?

a.         Masuknya Islam di Mata Para Ahli

Seorang ahli sejarah bernama Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang be¬rarti Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubung¬kan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal ini.
Bahkan para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para pedagang dari Cina, banyak barang perunggu Cina pada masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering di¬jarah.
Di lain pihak BUYA HAMKA mengungkapkan, seorang pencatat sejarah Tiongkok pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang berdiam di pesisir Barat Sumatera. Penemuan tersebut telah men¬gubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. BUYA HAMKA menekankan temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown Univer¬sity di Amerika.
Hal yang sama juga diungkapkan G.R. Tibbetts  yang tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara.
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah, di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.

b.         Saat Rasulullah Hidup, Islam Telah Masuk Indonesia.

Dari bukti-bukti di atas, dapat dipastikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada masa Rasulullah masih hidup. Rasululah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, dua setengah tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M), lalu tiga tahun lamanya berdakwah secara diam-diamb periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama ta¬hun 616 M), setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Makkah ke seluruh Jazirah Arab.
Sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara sangat yakin bahwa Islam masuk ke Nusantara pada saat Rasulullah masih hidup di Makkah dan Madinah. Bahkan Mansyur Sury¬anegara lebih berani lagi dengan menegaskan bahwa sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, saat masih memimpin kabilah dagang kepunyaan Khadijah ke Syam dan dikenal sebagai seorang pemuda Arab yang be¬rasal dari keluarga bangsawan Quraisy yang jujur, rendah hati, amanah, kuat, dan cerdas, di sinilah ia bertemu dengan para pedagang dari Nusantara yang juga telah menjangkau negeri Syam untuk berniaga.

c.         Gujarat Sekadar Tempat Singgah

Jelas, Islam di Nusantara termasuk generasi Islam pertama. Inilah yang oleh banyak sejarawan dike¬nal sebagai Teori Makkah. Islam di Nusantara bukan berasal dari para pedagang India (Gujarat) karena para pedagang yang datang dari India, sebenarnya berasal dari Jazirah Arab yang sebelumnya singgah dulu di India.
Apabila dilihat di atlas Asia Selatan, kita akan bisa memahami mengapa para pedagang dari Jazirah Arab men¬jadikan India sebagai tempat transit yang sangat strategis sebelum meneruskan perjalanan ke Sumatera mau¬pun yang meneruskan ekspedisi ke Kanton di Cina. Setelah singgah di India beberapa lama, pedagang Arab ini terus berlayar ke Banda Aceh, Barus, terus menyusuri pesisir Barat Sumatera, atau juga ada yang ke Malaka dan terus ke berbagai pusat-pusat perdagangan di daerah ini hingga pusat Kerajaan Budha Sriwijaya di selatan Sumatera (sekitar Palembang), lalu mereka ada pula yang melanjutkan ekspedisi ke Cina atau Jawa.
Berdasarkan pemaparan dan hasil riset dari sejumlah ahli sejarah di atas sekaligus menepis pendapat dari Snouck Hurgronje yang menyebutkan bahwa Islam masuk Nusantara (Indonesia-red) pada abad ke-14. Padahal Islam di Indonesia telah masuk saat Rasulullah SAW masih hidup, yakni di abad ke-7.
Perlu ditekankan, walaupun terdapat perbedaan pendapat tentang kapan masuknya Islam di Indonesia sebagaimana tertera di atas, namun para ilmuwan sepakat bahwa proses masuknya Islam ke Indonesia tidak dilakukan dengan kekerasan atau kekuatan militer. Penyebaran Islam tersebut dilakukan secara damai dan berangsur-angsur melalui perdagangan, perkawinan, pendirian lembaga pendidikan pesantren (dalam hal ini mirip mandala dalam agama Hindhu di Jawa), penyebaran da’i, perkumpulan tarekat, penyuluhan pertanian, dan sebagainya.

2.         GENERASI  KE 2 : ISLAM NUSANTARA BERDASARKAN KETURUNAN AHLUL BAIT NABI

Sayyid Ahmad bin Al-Muhajir adalah cicit Ali Al-Uraidhi, putra keempat Imam Ja’far Shadiq. Sedangkan Imam Ja’far Shadiq, yang merupakan putra Imam Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husayn bin Ali bin Abi Thalib.



 
Syeikh Jumadil Kubro adalah nama lokal dari Sayyid Jamaluddin Husein Akbar, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Azhamat Khan, yaitu Ahlulbait yang sempat bermukim di India. Beliau adalah generasi ke-11 dari Ahmad bin Isa al-Muhajir, seorang Keturunan Ahlulbait yang hijrah dari Hadhramaut, Yaman.
Dengan demikian, Syeikh Jumadil Kubro salah seorang keturunan Ahlulbait yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Beliau dijuluki sebagai penghulu Wali Songo (punjer Wali Songo). Di batu nisan di makam Troloyo di Mojokerto tertera bahwa beliau wafat pada tahun 1365 M, “Syeikh Jumadil Kubra adalah waliyullah pertama yang masuk di Nusantara Jawa ini untuk penyebaran agama Islam” (Drs. Sardjono Suradi Soegondo)
“Beliau datang ke Jawa ini pada zaman Hayam Wuruk dan meninggal tahun 1365. itu yang tertulis di nisannya. Beliau Keturunan Abdul Malik yang dikenal dengan keluarga Azmat Khan itu dalam rangka dakwah dengan pendekatan mengintegrasikan diri di dalam sosiobudaya Nusantara yang waktu itu tidak hanya mencakup Indonesia, tapi meliputi Malaysia, Brunei, Thailand bahkan Ka  mboja (Campa). Sehingga dalam rangka adaptasi yang lebih intensif mereka bahkan tidak hanya meninggalkan gelar-gelar yang sifatnya ke-Araban, tapi diganti dengan Tuan atau Wan kalau di Malaysia. Bahkan bukan hanya itu mereka juga menikah dengan wanita-wanita pribumi dan tidak jarang mereka menikah dengan keluarga kerajaan keraton. Itu semua dalam rangka agar supaya dakwah lebih efektif, lebih mudah diterima dan tidak terkesan sesuatu yang asing.
Menurut prasasti Kembang Suri bahwa di jantung Majapahit itu ada masjid besar dan ada makam yang luasnya 4 hektar (Trowulan). Bagaimana bisa dibayangkan ada makam seluas itu, berarti sudah ada komunitas Islam, kalau ada komunitas Islam ada masjid, kalau ada masjid ada imam, ada ulama. Maka dalam prasasti Kembang Suri itu ada kata-kata diwan, wali, musyawarah, padahal itu di zaman Hayam Wuruk.” (KH. Dr. Dhiyauddin Qushwandi)
Metode integrasi dan asimilasi budaya yang dirintis oleh Syeikh Jumadil Kubro ini menjadi panduan Wali Songo dalam mendakwahkan Islam. Para wali yang merupakan keturunan Ahlulbait tersebut melebur dalam masyarakat lokal.

“Tokoh Malik Ibrahim dalam prasastinya sudah jelas disebutkan, tidak ada nama Maulana, jadi hanya disebutkan Syeikh Malik al-Ibrahim. Dia menggunakan nama lokal dengan sebutan Kakek Bantal, yang digambarkan dia dimuliakan, dibanggakan oleh raja-raja dan pengeran-pangeran sekitarnya. Itu penggambaran tentang tokoh tersebut. Nah itu dikaitkan dengan historiografi di daerah Gresik tentang tokoh ini. Jadi, memang punya hubungan dengan keluarga Majapahit. Dia mau menikahkan raja Majapahit dengan puteri Islam, namun kemudian puteri Islam yang bernama puteri Iswari itu sebelum dinikahkan sudah meninggal lalu dimakamkan di situ. Dalam prasasti disebutkan tokoh Malik Ibrahim ini berasal dari Kashan, satu daerah di Persia. Jadi, kita tidak bisa menafsirkan lagi bahwa beliau itu orang Persia, hanya pahamnya apa kita tidak tahu. Tetapi yang jelas disana digambarkan bahwa beliau adalah orang dari Kashan, Persia” (Agus Sunyoto, MA)
Dalam prasasti makam Syeikh Malik Ibrahim tertulis bahwa almarhum wafat pada tahun 822 H, bertepatan dengan tahun 1419 M. Adik sepupu beliau, yaitu Sunan Ampel datang belakangan ke Jawa sekitar tahun 1440 M.
Menurut penulis buku “Ahlul-Bait of Rasulullah SAW and Malay Sultanates”, yaitu Haji Muzaffar Dato’ Haji Mohammad, peran Ahlulbait dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara sangat besar dan penting. Bukan saja para wali pendakwah Islam, banyak sultan di Asia Tenggara awalnya adalah keturunan Ahlulbait.



3.         GENERASI  KE 3 : ISLAM NUSANTARA BERDASARKAN PERAN- PERAN KERAJAAN ISLAM

Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
Setelah pengaruh Kerajaan Hindu-Budha mulai surut, muncul kerajaan-kerajaan islam di Nusantara. Misalkan saja, semenjak pengaruh Kerajaan Sriwijaya mulai menurun, mubaligh-mubaligh yang telah memeluk agama Islam terlebih mulai semakin gencar menyebarkan agama islam ini di sekitar Malaka, dan puncaknya terdapat beberapa kerajaan islam di sekitar selat malaka, seperti Kerajaan Perlak, Kerajaan Malaka, dan Kerajaan Samudra Pasai.
Begitu juga di pulau jawa, semenjak
Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran, terdapat kerajaan islam yang muncul, seperti Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Islam Mataram, Kerajaan Islam Cirebon, Kerajaan Islam Banten, dan lainnya.
Kerajaan-kerajaan tersebut pastinya memiliki banyak sekali pengaruh di masanya. Agar Anda tidak penasaran dengan kerajaan-kerajaan islam yang pernah berdiri di Indonesia, kami akan memberikan sedikit paparan terkait beberapa kerajaan tersebut. Berikut beberapa kerajaan islam di Indonesia yang harus Anda ketahui.

         Kerajaan Perlak
Kerajaan ini merupakan kerajaan islam pertama yang berdiri di Indonesia, yang pada saat itu dikenal dengan nusantara. Pada saat itu Perlak merupakan salah satu kota dagang yang sangat terkenal. Raja pertama dari kerajaan ini, yaitu Sultan Alauddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Kerajaan Perlak atau Kerajaan Peureula ini didirikan sekitar petengahan abad ke-9 M.
Sedangkan menurut Ishak Makarani Al Fays, Kerajaan ini didirikan pada 1 Muharram 225 H (840 M). Terdapat beberapa bukti tertulis yang menyebutkan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan islam pertama di Indonesia.
1)         Tazkirah Thabakat Jumu Sultan as Salathin, naskah yang dikarangan oleh Syeh Syamsul Bahri Abdullah.
2)         Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, naskah yang dikarangan oleh Saiyid Abdullah Ibn Saiyid Habib Saifuddin.
3)         Idharatul Haq fi Mamlakatil Farlah wa Fasi, naskah yang dikarang oleh Abu Ishak Makarani Al Fasy.
Ketiga naskah tersebut menyebutkan bahwa Kerajaan Perlak merupakan kerajaan islam pertama di Indonesia. Terdapat beberapa peninggalan dari kerajaan ini, yaitu,Makam Raja Benoa Pada batu nisan Raja Benoa (Benoa merupakan salah satu bagian dari Kerajaan Perlak) ditulis menggunakan huruf arab. Makan Raja Benoa ini terletak di tepi Sungai Trenggulona. Diperkirakan nisan ini dibuat sekitar abad ke-4 H tau ke-5 H.
Mata uang perlak Merupakan mata uang tertua di nusantara, mata uang ini terbagi menjadi 3 jenis, yaitu terbuat dari tembaga atau kuningan, perak (kupang), dan emas (dirham).
Terdapat stempel kerajaan Negeri Bandahara (kereajaan yang merupakan bagian dari Kerajaan Perlak) yang menggunakan huruf arab. Pada stempel tersebut tertulis kalimat “Al Wasiq Billah Kerajaan Negeri Bendahara Syah 512”. Itulah, beberapa peninggalan dari kerajaan yang diperkirakan merupakan kerajaan islam tertua di Indonesia. sekitar abad ke-12 M Kerajaan Perlak mulai mengalami kemunduran.

         Kerajaan Samudra Pasai

Kerajaan ini berdiri sekitar abad ke-13 M. Kerajaan ini trletak di Kabupaten Lokseumae, Aceh Utara. Kerajaan ini merupakan gabungan dari 2 kerajaan yang sedang mengalami kemunduran, yaitu Kerajaan Pase dan Kerajaan Perlak. Kedua kerajaan tersebut dipersatukan oleh penguasa daerah pada saat itu, Marah Silu (Meurah Silu) yang dibantu Syeh dari Makkah, Syeh Ismail.
Marah Silu merupakan raja pertama sekaligus pendiri kerajaan ini, raja yang mendapat gelar Sultan Malik al Saleh. Tahun 1297 Sultan Malik al Saleh meninggal, ia digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Mahmud. Pada saat kepemimpinan Sultan Muhammad Malik al Tahir (1297-1326) kerajaan Samudra Pasai menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama islam.
Pada tahun 1326 Sultan Muhammad Malik al Tahir meninggal digantikan oleh putranya Sultan Ahmad, sultan yang juga bergelar Malik al Tahir (1326-1348).
Pada masa kepemerintahan Sultan Ahmad Malik al Tahir Kerajaan Samudra Pasai berkembang pesat, kerajaan ini banyak menjalin kerjasama dengan beberapa kerajaan islam di dunia lainnya, seperti kerajaan-kerajaan di India dan Arab. Pada tahun 1348 Sultan Ahmad meninggal dan digantikan oleh Sultan Zainal Abidin. Namun, pada tahun 1521 M kerajaan ini runtuh karena berhasil ditaklukan oleh Portugis.
Keberadaan Kerajaan Samudra Pasai dibuktikan dengan beberapa peninggalan, seperti makam Sultan Malik al Saleh, makam Sultan Zainal Abidin, naskah surat Sultan Zainal Abidin, makam Ratu al Aqla, cakra donya, dan stempel kerajaan.

         Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh diperkirakan berdiri pada tahun 1514. Kerajaan ini terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan sebutan Kabupaten Aceh Besar. Raja pertama Kerajaan Aceh, yaitu Raja Ibrahim (1514-1528), yang bergelar Sultan Ali Mughayat Syah. Di bawah kepemimpinan Sultan Ali Kerajaan Aceh menjadi kerjaan yang besar dan kokoh. Namun, ia memimpin dalam waktu yang tidak lama.
Pada tahun 1528 Sultan Ali Mughayat meninggal dan digantikan oleh putranya Sultan Salahuddin (1528-1537), kemudian ia digantikan oleh adiknya yang bernama Sultan Alaudin Ri’ayat Syah (1537-1568), yang medapat gelar Al Qohhar berkat kegagahan dan keberhasilannya mengusai beberapa wilayah.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), di bawah kepemimpinannya Kerajaan Aceh memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luat. Selain itu, kerajaan ini juga berhasil menjalin kerjasama dengan para pemimpin islam di Arab. Hubungan yang terjalin tersebut pada masa kekhalifahan Ustmaniyah.
Kerajaan ini mulai mengalami kemunduran sejak tahun 1941. Salah satunya adalah karena semakin menguatnya pengaruh Belanda di Malaka. Kemunduran tersebut ditandai dengan jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh ke tangan Belanda. Selain karena faktor tersebut, juga karena faktor perebutan kekuasaan di antara pewaris kerajaan.
Beberapa peninggalan Kerajaan Aceh, yaitu Masjid Raya Baiturrahman, makam Sultan Iskandar Muda, meriam Kerajaan Aceh, Benteng indrapatra, emas Kerajaan Aceh, dan Gunongan.

         Kerajaan Demak
Kerajaan Demak merupakan kerajaan islam pertama di pulau jawa. Pada awalnya wilayah ini bernama Bintoro, salah wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Karena semakin lemahnya pengaruh Kerajaan Majapahit, hal tersebut mengakibatkan beberapa penguasa daerah mulai membangun wilayah kekuasaannya sendiri, termasuk penguasa islam di pesisir pantai Jawa.
Mereka membangun wilayah kekuasaan islam dengan menunjuk Raden Patah sebagai raja dari Kerajaan islam pertama di pulau jawa ini. Setelah diangkat menjadi raja, Raden Patah mendapat gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayyidina Panatagama.
Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1478. Palembang, Maluku, Banjar, dan wilayah bagian utara pulau jawa merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Demak. Pada saat ulama penempati peranan penting di dalam kerajaan, Sunan Kalijaga dan Ki Wanalapa adalah penasehat kerajaan. Tahun 1207 Raden Patah digantikan oleh Putranya yang bernama Pati Unus. Pada masa kepemimpinannya Adipati Unus atau yang sering dijuluki Pangeran Sabrang Lor ini bersama dengan Kerajaan Aceh menyerang Portugis yang menduduki Malaka pada saat itu.
Pati Unus meninggal pada tahun 1521 dan digantikan oleh adiknya, yaitu Sultan Trenggono. Kerajaan ini mengalami kemunduran karena perebutan kekuasaan antar pewarisnya. Beberapa peninggalan Kerajaan demak, yaitu Masjid Agung Demak, Soko Tatal dan Soko Guru, Pintu Bleedek, Kentongan, Bedug, Dampar Kencana, Pirim Campa, Kolam Wudhu, dan Makrusah.

         Kerajaan Pajang
Kerajaan ini didirikan pada tahun 1568 oleh Sultan Adi Wijaya atau yang lebih dikenal dengan Jaka Tingkir. Jaka Tingkir merupakan menantu dari Sultan Trenggono, setelah menikah dengan putri Sultan Trenggono, Jaka Tingkir menjadi penguasa di Pajang. Setelah Sultan Trenggono meninggal Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Arya Penangsang, dan memindahkan kerajaan Demak ke Pajang.
Pada tahun 1582 Jaka Tingkir atau Sultan Adi Wijaya meninggal dan digantikan oleh putranya, Pangeran Benowo. Pada masa kepemerintahan Pangeran Benowo, Pangeran Arya Pangiri dari Demak mencoba untuk merebut Kerajaan Pajang, namun mengalami kegagalan. Pangeran Benowo menyerahkan tahtanya kepada saudara angkatnya, Sutowijoyo

         Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan ini berdiri pada tahun 1586 di Kotagede, bagian tenggara dari Yogyakarta. Kerajaan ini didirikan oleh Sutowijoyo, saudara dari Pangeran Benowo. Sutowijoyo memiliki gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama setelah naik tahta pada tahun 1586. Pada tahun 1601 Sutowijoyo meninggal dan digantikan oleh Mas Jolang, yang memiliki gelar Panembahan Seda ing Krapyak.
Setelah Raden Mas Jolang meninggal, ia digantikan oleh Adipati Martapura, karena sering mengalami sakit Adipati Martapura pun akhirnya meninggal. Selanjutnya ia digantikan oleh Raden Mas Rangsang yang bergelar Panembahan Hanyakrakusuma, pada tahun 1640 ia mengganti gelarnya menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma, sekitar tahun 1640an ia mengganti gelarnya lagi menjadi Sultan Agung Senapati ing Alaga Ngaburrahman Khalifatullah.
Pada masa pemerintahannya kekuasaaan Kerajaan Mataran islam sangat luas. Kerajaan ini terletak di bekas wilayah Kerajaan Mataram Hindu, namun Kerajaan Mataram ini merupakan kerajaan bercorak islam.
Beberapa peninggalan dari Kerajaan mataram islam, yaitu tahun saka, kue kipo, kerajinan perak, pakaian kyai gundhil, kalang obong, gapura makah kotagede, batu datar, dan sastra gendhing karya Sultan Agung.

         Kerajaan Islam Cirebon

Kerajaan ini berdiri pada tahun 1522, didirikan oleh Raden Fatahillah atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Kerajaan ini merupakan kerajaan islam pertama di Jawa Barat. Raden Fatahillah berjasa dalam menyebarkan agama islam di Jawa Barat. Karena kedudukannya sebagai Wali Songo, sehingga ia banyak dihormati oleh raja-raja lain di pulau Jawa, seperti raja dari Demak dan Pajang. Di bawah kepemimpinannya juga Kerajaan Cirebon ini memiliki banyak wilayah kekuasaan.
Sunan Gunung Jati meninggal pada tahun 1570 dan digantikan oleh cicitnya yang bergelar Panembahan Ratu. Pada tahun 1650 Panembahan meninggal dan digantikan oleh putranya yang bergelar Penaembahan Girilaya. Setelah Panembahan Girilaya meninggal Kerajaan Islam Cirebon dibagi menjadi dua (tahun 1697) oleh kedua puranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya (Panembahan Anom).
Beberapa peninggalan dari Kerajaan Islam Cirebon ini, yaitu Masjid Jami’ Pakuncen, Masjid Sang Cipta Rasa, Keraton Kacirebonan, Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Makan, dan beberapa benda pusaka.

         Kerajaan Islam Banten
Kerajaan ini didirikan pada tahun 1552 oleh Sultan Hasanudin, yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati. Setelah berhasil menaklukan Banten pada tahun 1525 Sunan Gunung Jati menyerahkan kekuasaan Banten kepada putranya tersebut.
Di bawah kepemimpinannya Kerajaan Islam Banten semakin kuat dan memiliki banyak wilayah kekuasaan, bahkan sampai ke Sumatera selatan dan Kelampung. Sultan Hasanudin menikah dengan putri Kerajaan Demak, yaitu putri dari Sultan Indrapura.
Kerajaan ini mencapai puncak kekuasaannya pada saat kepemimpinan Ki Ageng Tirtayasa.  Beberapa peninggalan Kerajaan Islam Banten ini, yaitu Istana Keraton Surosowan Banten, Istana Keraton Kaibon Banten, Masjid Agung Banten, Vihara Avalokitesvara, Benteng Speelwijk, Meriam Ki Amuk, Danau Tasikardi, Keris Naga Sasra, dan Keris Panunggul Naga.

         Kerajaan Islam Banjar
Kerajaan ini berdiri pada tahun 1520, terletak di Kalimantan Selatan. Dengan bantuan dari Kerajaan Demak, Kerajaan Banjar berhasil meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Nagaradaha, kerajaan yang menguasai Banjarmasin pada saat itu. Bantuan tersebut tidak diberikan secara gratis, ada syarat yang harus dipenuhi oleh Kerajaan Banjar, yaitu memeluk agama islam.
Raja pertama dari Kerajaan Islam Banjar adalah Raden Samudra. Setelah masuk islam mendapat gelar Sultan Suryanullah. Setelah wafat, ia digantikan oleh Sultan Rahmatullah (1545-1570). Dalam waktu yang cukup singkat agama islam juga mulai dianut olh masyarakat di Kalimantan, seperti Bugis, dan masyarakat bagian timur Kalimantan. Peninggalan dari Kerajaan Islam Banjar, yaitu Masjid Sultan Suriansyah dan Candi Agung Amuntai.

         Kerajaan Kutai Kalimantan Timur

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri sekitar abad ke-13 M. Raja pertama kerajaan tersebut adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Sekitar abad ke-16 M, kerajaan ini pernah menaklukan Kerajaan Kutai Martadipura (Kerajaan Kutai bercorak Hindu-Budha), sehingga kedua kerajaan tersebut dapat disatukan dan namanya berubah menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Islam mulai masuk di Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ini sekitar abad ke-17 M, yang dibawa oleh Tuan Tunggang Parangan. Karena raja pada saat itu telah memeluk agama islam sehingga ia segera membangun sebuah masjid di daerah tersebut. Selain membangun sebuah masjid, ia juga membuka pengajaran agama islam.

4.         GENERASI  KE 4 : UTUSAN PARA DA’I ISLAM KE NUSANTARA

Sejarah, Walisongo utusan Khilafah Turk i mulai terkuak. Bisa dikatakan tidak ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah. Orang sering mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa disebarkan oleh Walisongo.
Tak banyak orang yang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu. Dari mana mereka berasal. Apa peran mereka dan bagaimana menyebarkan Islam. Tidak mungkin mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit.
Sejarah telah mencatat bahwa misi dakwah Islam secara khusus ke tanah Jawa. Telah dikirimkan tim dakwah atas perintah Sultan Muhammad I pada tahun 1404 M. Saat itu ia menjadi penguasa Khilafah Turki Utsmani (1394 – 1421 M). Tim dakwah itu dikenal dengan nama Walisongo. (Rahmad Abdullah, Wali Songo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa. Hal, 62).

           Walisongo Utusan Turki

Tanah Jawa menjadi wilayah terpenting bagi penyebaran dan pengembangan agama Islam di Nusantara sejak berabad-abad lampau. Keterkaitan antara Islam dan Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran dan kerja keras dakwah para Wali di Tanah Jawa.
Walisongo itu merupakan tim dakwah. Pembentukan lembaga dakwah walisongo pertama kali dilakukan oleh Sultan Turki, Muhammad I. Pada waktu itu Sultan Muhammad I menerima laporan dari para saudagar Gujarat (India) bahwa di Pulau Jawa jumlah pemeluk agama Islam masih sedikit.
Pendapat lain menyatakan, awal mula kedatangan Walisongoadalah ketika terjadi pertempuran di Jawa yaitu sebuah suksesi kepemimpinan Majapahit. Peperangan itu dikenal dengan perang Paregreg.
Para saudagar Gujarat yang beragama Islam memberitahukan kepada Sultan Muhammad I bahwa di Jawa sedang terjadi perang saudara. Sehingga Sultan Muhammad I mengutus beberapa orang dengan keahlian di bidang irigasi dan paham agama Islam untuk misi kemanusiaan. (K. Subroto, Kesultanan Demak Negara Yang Berdasarkan Syari’at Islam di Tanah Jawa. Hal 14).
Sultan Muhammad I kemudian mengirimkan sekelompok tim dakwah islamiyah. Anggota dari tim dakwah ini dipilih dari orang-orang yang memiliki kemampuan di berbagai bidang terutama bidang ilmu agama.
Untuk membentuk Tim ini, Sultan Muhammad I mengirimkan surat pada para pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah. Isi dari surat perintah itu adalah meminta dikirimkannya beberapa ulama yang mempunyai keahlian.
Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu kemudian dibentuk sebuah tim dakwah. Anggotanya berintikan sembilan orang yang ditugaskan menjadi penyebar agama Islam di pulau Jawa. Kemudian timdakwah berangkat pada tahun 1404 M.
Tim dakwah ini dipimpin oleh SyekhMaulanaMalik Ibrahim (Sunan Gresik) yang berasal dari Turki.  Beliau adalah orang yang ahli agama dan juga ahli irigasi yang dianggap piawai dan pintar dalam mengatur negara.
Begitu sampai di Tanah Jawa, tim sembilan ini langsung melakukan pertemuan untuk merancang rencana kerja. Oleh sebab itu, pertemuan pada tahun 1404 M yang dihadiri oleh seluruh anggotanya dianggap sebagai sidang Walisongopertama yang kemudian disebut sebagai Walisongoangkatan pertama. Karena dalam tim dakwah Walisangoini terdiri dari beberapa angkatan.
Berdasarkan sumber kitab Walisana, Babad Tanah Djawi, Babad Tjirebon, dan Primbonmilik Prof K.H.R. Moh Adnan. Walisongo pada dasarnya adalah semacam lembaga dakwah yang berisi tokoh-tokoh da’i yang berdakwah secara terorganisir dan sistematis melakukan usaha-usaha pengisalaman masyarakat Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Masing-masing anggota memiliki tugas spesifik untuk satu tujuan mendakwahkan Islam.
Meskipun tiap-tiap wali menggunakan cara berbeda, namun semuanya terintegrasi dengan adanya mekanisme musyawarah timWalisongo. Beberapa hal yang dilakukan oleh Walisongo antara lain; Mendirikan masjid sebagai pusat dakwah dan kekuatan umat. Mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat kaderisasi dan pembinaan. Penguatan jaringan dengan menikahkan putri dan santrinya dengan anak bangsawan keluarga kerajaan Majapahityang telah didakwahi dan masuk Islam.
Pengiriman kader-kader pondok pesantren untuk terjun ke masyarakat sebagai mekanisme pemberdayaan santri. Memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dengan berdagang, membuka warung dan pengobatan.
Seruan dakwah langsung kepada penguasa bagian dari upaya diplomasi. Jihad melawan kekuatan Syiwa-Budha dan Portugis. Dan membangun kekuasaan politik Islam dengan mendirikan kerajaan-kerajaan Islam.
Rencana Penguasaan Politik Islam (SiyasahSyar’iyah) dalam dakwah Walisongotelah dipersiapkan oleh Maulana Malik Isroif, anggota Walisongoangkatan pertama. Ketika berdakwah di Cilegon,Jawa Barat, beliau mempunyai beberapa orang murid yang dipersiapkan untuk menjadi raja, diantaranya MaulanaAinulYaqin (SunanGiri) dan SyarifHidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Saat itu Maulana Malik Isroiltelah mengajarkan ilmu SyiyasahSyar’iyahpada santrinya sebagai bekal menjadi seorang pemimpin. Kitab-kitab yang diajarkan antara lain; Al Muqadimah karya Ibnu Khaldun, As SyiyasahSyar’iyah dan Al HisbahFil Islamkarya Ibnu Taimiyah serta kita karya al Mawardi, Al Ahkam As Sulthoniyah.
Kitab-kita tersebut membahas sistem politik Islam, aturan pemerintahan, hukum dan undang-undang, serta berbagai upaya untuk perbaikan pejabat dan rakyat dalam bingkai syari’at Islam. Dan terutama untuk menegakkan kewajiban Amar Ma’rufNahiMunkardalam wilayah kekuasaan Islam.

           Aksi Dakwah Walisongo

Pada era WalisongoD akwah di Tanah Jawa telah sampai pada tahapan instutisionalisasisyari’ahIslam dalam bentuk negara. Berdirilah kesultanan Islam Demak Bintoro. Untuk sampai pada fase dakwah ini sudah tentu membutuhkan waktu yang panjang dan tidak serta merta dimulai atau final pada masa Walisongo. (Tiar Anwar Bachtiar, Sejarah Nasional Indonesia perpektif baru. Hal 94)
Proses islamisasiJawa telah melewati kurun masa yang panjang jauh sebelumnya. Boleh dikatakan bahwa Walisongo merupakan salah satu dari mata rantai estafet dakwah yang berjalan.
Kesuksesan dakwah era Walisongo banyak ditentukan oleh kekompakan gerakan dan kesadaran masing-masing individu untuk mengambil peran serta dalam rangka dakwah dan jama’ah. Perencanaan yang matang, pengorganisasian yang tepat, dan penguasaan medan turut memberikan andil bagi keberhasilan tahapan islamisasi jawa.
Tugas dakwah Walisongo belumlah usai. Namun tugas ini tetap menjadi tugas bagi kaum muslimin. Sudah seharusnya sejarah Walisongo bisa diambil pelajarannya. Meskipun mereka seorang ahli dalam irigasi tetapi digunakan untuk Islam. Ahli dalam bidang pengobatan, skill ini juga dijadikan sebagai wasilah untuk dakwah Islam. Adapula yang menjadi penguasa, maka kekuasaannya digunakan untuk kemajuan Islam. Pertanyaannya apa kontribusi kita bagi Islam ini.
Jalan perjuangan menegakkan Islam belum berakhir, namun masih panjang. Diperlukan SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) yang dipergunakan menopang laju dakwah dan jihad ini. Kemudian untuk mencapai tujuan itu, diperlukan pula strategi yang jitu sebagaimana diajarkan para salaf shalih. Serta dilandasi keyakinan bahwa masa depan adalah milik Islam.
Wali Songo memiliki peran yang sangat signifikan dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, utamanya. Bagaimana tidak, selama tujuh abad lamanya –sejak abad ke-7 hingga ke-14- Islam ‘tertolak’ di wilayah Jawa. Namun pada saat akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15, hampir semua masyarakat di pesisir pantai utara Jawa sudah memeluk Islam. Tidak lain itu diyakini sebagai hasil dakwah dari Wali Songo.
Oleh sebab itu, ada penilaian kalau dakwah Wali Songo adalah dakwah yang paling sukses dan berhasil karena mampu mengislamkan masyarakat Jawa. Yang tidak kalah menarik, perubahan masyarakat Jawa, dari agama sebelumnya –Hindu, Budha, Kapitayan, dan lainnya, menjadi Muslim, hanya berlangsung sekitar 50 tahunan. Lagi-lagi, itu merupakan hasil dari kecanggihan dan kejeniusan dakwah Wali Songo.
Lantas, bagaimana ada apa strategi dakwah yang dilakukan Wali Songo sehingga membuahkan hasil yang gemilang seperti itu? Dalam buku Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional (Imdadun Rahmat, 2017), setidaknya ada lima pendekatan dakwah yang digunakan Wali Songo.
Pertama, pendekatan teologis. Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel adalah yang menggunakan pendekatan ini. Mereka berdakwah bahkan hingga ke tingkat lapisan masyarakat paling bawah (waisya dan sudra) saat itu. Masyarakat diajari tentang nilai-nilai Islam, perbedaan antara pandangan hidup Islam dengan yang lainnya, dan menanamkan dasar-dasar Islam.
Kedua, pendekatan ilmiah. Tidak seperti dua sunan sebelumnya, Sunan Giri berdakwah dengan cara menggunakan pendekatan ilmiah. Ia membangun pesantren, membuat pelatihan dan pengkaderan, serta menugaskan muridnya untuk berdakwah di suatu tempat.
Tidak hanya itu, Sunan Giri juga menggunakan permainan sebagai medium untuk berdakwah. Oleh karena itu, ia menciptakan permainan anak-anak seperti jemblongan, tembang syair seperti ilir-ilir, padang bulan, dan lainnya. Singkatnya, Sunan Giri mengembangkan dakwah secara sistematis dan metodologis. 
Ketiga, pendekatan kelembagaan. Tidak semua anggota Wali Songo berdakwah di masyarakat langsung. Ada juga yang berdawah di pemerintahan. Mereka adalah misalnya Sunan Kudus dalam Kesultanan Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati di Kesultanan Cirebon. Mereka ikut serta mendirikan kesultanan dan aktif di dalamnya. Mereka memiliki pengaruh yang besar di kalangan bangsawan, birokrat, pedagang, dan kalangan elit lainnya.
Keempat, pendekatan sosial. Sunan Muria dan Sunan Drajat lebih senang hidup jauh dari keramaian. Mereka memilih untuk berdakwah pada masyarakat kecil di desa-desa atau kampung-kampung. Mereka mengajarkan masyarakat kecil untuk meningkatkan pemahaman keagamaannya. Mereka juga membina masyarakat agar kehidupan sosialnya meningkat.
Kelima, pendekatan kultural. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang lebih menonjol menggunakan pendekatan kultural. Mereka sadar bahwa budaya adalah sesuatu yang sudah mendarah daging di masyarakat. Jika langsung ditolak, maka masyarakat akan emoh mengikutinya. Solusinya, keduanya melakukan islamisasi budaya. Budaya-budaya yang sudah ada dan berkembang disisipi dengan ajaran-ajaran Islam. Tidak hanya itu, mereka juga menciptakan budaya-budaya baru yang mengandung nilai-nilai Islam. Diantara produk budaya yang mereka ciptakan dan masih ada hingga hari ini adalah Gamelan Sekaten (dari kata syahadatain), Gapura Masjid (berasal dari kata ghofura), baju takwo (dari kata takwa), dan lain sebagainya. 
Disadari atau tidak, dakwah merupakan kunci utama untuk memperkenalkan Islam kepada mereka yang tidak atau belum tahu tentangnya. Berhasil atau tidaknya dakwah sangat dipengaruhi oleh orang yang melakukan dakwah itu sendiri. Sejauh mana ia memahami ajaran agama Islam. Sejauh mana ia mengenal sasaran dakwahnya (masyarakat). Dan seberapa lihai ia mentransformasikan ajaran agama Islam kepada masyarakat sehingga diterima dengan baik.
Melalui lima pendekatan di atas, Wali Songo terbukti mampu mengislamkan hampir seluruh masyarakat di pesisir pantai utara Jawa dalam tempo waktu yang cukup singkat. Diakui atau tidak, itulah dakwah yang sangat gemilang. Dari situ, umat Islam kini bisa saja mencontoh atau meneladani apa yang telah dikerjakan Wali Songo. Tentunya dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian sebagaimana dengan situasi dan kondisi masa kini

Catatan Khusus : generasi ke Lima ke Enam dan sampai Sekarang Generasi ke tujuh tentang penyebaran islam di indonesia ,  penyusun belum menyusun di karnakan waktu yang terbatas dan sumber yang belum lengkap

C.        AWAL  MULA NAMA PESANTREN DAN SANTRI

Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren.
Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.

Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22)
Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22)
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren  membekali santrinya dengan ilmu hidup,  mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan.
Dari pesantren, Menag mengaku memahami  peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi kiprah  pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur Menag. Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa ke thawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya.
Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa depan santri,” urai Menag panjang lebar.
Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20).  

D.        SEJARAH PESANTREN MIFTAHUSSA’ADAH

a.         Gambaran Umum Pondok Pesantren Miftahussa’adah Cibaliung,
1)         Letak Geografis
Pondok Pesantren Miftahussa’adah Soreang, Cibaliung ini terletak di Kampung Soreang, Desa Sukajadi, kecamatam Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Alamat Pondok Pesantren Miftahussa’adah yang berada di jalan Raya Cibaliung Km.2 Kp.Soreang Ds.Sukajadi Kec.Cibaliung 42285, E-mail Yamis.pontren@gmail.com.
Secara Geografis, jarak tempuh Kampung Soreang adalah kurang lebih 1,5 KM dari kantor Desa Sukajadi, 1 KM dari kecamatan, 45 Km dari Kabupaten, dan 50 KM dari Kota Propinsi,dan 50 M dari pusat Pasar Sukajadi Cibaliung.

2)         Sejarah Berdiri dan Perkembangannya

Pondok Pesantren Miftahussa’adah Soreang/Borexel berdiri tanggal 1 November 2000 M / 04 Sa’ban 1421 H, pada awalnya Pondok Pesantren Miftahussa’adah adalah Pondok Pesantren yang hanya mengkaji Kitab Kitab Kuning akan tetapi,seiring dengan perkembangan zaman yang menuntut SDM yang seimbang antara pendidikan Agama (Pesantren) dan pendidikan formal, maka Pondok Pesantren Miftahussa’adah pun berkembang dengan berdirinya pendidikan formal yang dirintis mulai dari Madrasah Tsanawiyah(MTs), Madrasah Aliyah (MA) Dan Alhamdulillah dari tahun ke tahun dengan perjuangan, pengorbanan serta dukungan dari segenap warga masyarakat, Pondok Pesantren Miftahussa’adah sudah mampu berkiprah di masyarakat.
Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Miftahussa’adah, Pondok Pesantren Miftahussa’adah soreang/borexel di dirikan 1 November 2000 M / 04 Sa’ban H, yang didirikan oleh K.Hapidudin,beliu adalah Alumni dari Pondok Pesantren Irsaadu Sa’adah Saketi -Pandeglang-Banten, bersama Istrinya Umi juju Subaikah beliu adalah Alumni dari Pondok Pesantren Miftahul Huda Manon Jaya-Tasikmalaya.
Asal usul di namai Pondok Pesntren Miftahussa’adah di ambil dari dua Pondok Pesantren, yaitu Pondok Pesantren Miftahul huda Saketi-Pandeglang-Banten, dan Irsadussa’adah Manonjaya-Tasikmalaya, Umi Juju Subaikah membawa nama Miftah, dan K.Hapidudin membawa nama Assa’adah, kemudian dari dua nama tersebut di gabungkan menjadi Miftahussa’adah yang mempunyai arti Miftah artinya kunci dan Asaa’adah artinya kebahagian (kunci kebahagiaan).
Kegiatan belajar mengajar pada tahun 2000-2003 menggunakan sistem gabungan pengajian dengan tida di beda-bedakan antara Santri yang lama dengan yang baru ,setelah di evaluasi selama tiga tahun dengan cara tersebut kurang efektif, dan pada tahun 2004 sistem pembelajaran di Pondok Pesantren Miftahussa’adah di rubah dengan sistem klasikal dari Kelas satu s/d Empat dengan bertahap, menerapkan kurikulum pendidkan Ulama Salaf.
Pada tahun 2010 sistem pendidikan klasikal masih tetap di pertahankan sampai sekarang akan tetapi jengjang pendidikanya di sempurnakan dengan di adakanya Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah ,sebagai ikhtiyar untuk mempersipkan kader bangsa beroleh ilmu ke islaman dan pengetahuan umum.
Dalam perjalanan sejarahnya, mula-mula K.Hapidudin menyediakan sebuah ruangan (Cobong) yang jumlahnya masih sedikit lama kelamaan Pondok pesantren Miftahssa’adah tersebar keplosok perkampungan di karnakan K.Hapaidudin selalu memberikan tausiyah ke berbagai ploksok perkampungan, hingga banyak orang tua yang mendaftarkan Anaknya ke Pondok Pesantren Miftahussa’adah.
Pada awal berdirinya pendidikan santri langsung ditangani oleh Abi (panggilan untuk K.Hapidudin) karena saat itu santrinya baru beberapa orang dan memungkinkan untuk ditangani sendiri. Namun setelah jumlah santrinya semakin banyak dan tidak mungkin ditangani sendiri, maka untuk menjalankan sistem pengajaran santri selain ditangani langsung oleh Abi (panggilan untuk K.Hapidudin), juga dibantu oleh beberapa Santri senior, dan untuk pelaksana harian ditangani oleh kepengurusan yang merupakan bagian dari kepengurusan pondok pesantren ini.
Setelah kependidikan berjalan, dan perkembangan santri yang semakin bertambah, dirasa perlu adanya penanganan tersendiri agar lebih terarah tercapainya tujuan pendidikan. Maka pada tahun 2001 dibentuklah kepengurusan tersendiri untuk menangani masalah kependidikan yang terlepas dari kepengurusan pondok pesantren. pada awalnya, perkembangan kepengurusan tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik, namun pada tahun 2002 pendidikan santri ditangani oleh sebuah kepengurusan tersendiri yang mulai terorganisir.
Kepengurusan Pondok Pesantren Miftahussa’adah yang di mulai kepengurusan priode pertama yaitu oleh mang didi tahun 2001-2003 dengan jumlah 20 Santri, priode ke dua oleh mang Didin tahun 2003-2005 dengan jumlah 50 Santri, priode ke tiga oleh mang Arjani pada tahun 2005-2007 dengan jumlah Santri sekitar 80 santri, priode ke empat oleh mang supyani pada tahun 2007-2009 dengan jumlah santri 120 santri, priode ke lima, oleh Mang Arifin pada tahun 2009-2011 dengan jumlah santri sekitar 150 Santri, priode ke enam pada tahun 2011-2013 yaitu oleh Mang Jafar dengan jumlah Santri Sekitar 180 santri, dan priode ke tujuh pada tahun 2013-2019 oleh Mang  sadam namun hanya satu hari satu malam yang di tunjuk langsung oleh para pengurus ketika pengesahan oleh abi dan umi ternyata abi dan umi tidak setuju di karnakan mang sadam itu terlalu banyak pekerjaan di administrasi maka oleh sebab itu terjadilah pembubaran biarpun satu hari satu malam jangan di lupakan kemudian jatuh pemilihan kepada mang Aang preode 2013-2019 dengan jumlah santri 250 santri, Prode Ke tujuh pada tahun 2019 sampai Sekarang yaitu oleh Mang Ipung dengan ju,lah santri 350.
dengan tenaga pengajar/ustadz 17 orang dibantu oleh santri-santri masa pengabdian total 35 orang. Dan juga perangkat pesantren dilengkapi dengan susunan personalia yang lengkap dengan pedoman umum serta tata tertib santrinya

3)         Struktur Organisasi

Pondok Pesantren Miftahussa’adah dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajarannya telah ditangani oleh suatu kepengurusan yang dilengkapi dengan struktur dan personalianya. Kepengurusan ini dimaksudkan agar kelangsungan dan ketertiban bisa terjaga dengan baik, serta untuk mempermudah dan memperlancar para santri dalam menekuni dan mendalami ilmu-ilmu kepesantrenan. Selain itu, kepengurusan ini dimaksudkan untuk membantu Kyai dalam mengemban amanat para wali santri yang

4)         Keadaan Kyai

Pengasuh dalam hal ini merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah Pondok Pesantren, yang juga berpeeran sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan terhadap segala keputusan yang diambil, sebab pengasuh merupakan pendiri sekaligus pemilik pondok pesantren ini. meskipun demikian, pengasuh akan meminta pertimbangan kepada pengurus juga santrinya sebelum mengambil keputusan bagi keberlangsungan pesantren.
Pondok Pesantren Miftahussa’adah yang terletak di Kampung Soreang/Borexel Sukajadi-Cibaliung ini diasuh oleh seorang kyai yang bernama K. Hapidudin. Beliau adalah putra Abah Memed, Ibunya bernama Nurizah, Istrinya bernama Juju Subaekah( Alm) K.Hapidudin dilahirkan pada tanggal 25 Februari 1969 M, bertepatan dengan tanggal 8 Dzul Hijjah 1388 H, di Lame Luhur, Menes-Pandeglang.
Pendidikan yang di ampuh yaitu Pendidikan Formal dan Pendidikan Non Formal/PLS, Pendidikan Formalnya pertama sekolah di SDN Babakan Kidul Menes, kemudian dilanjutkan ke MTs Malnu Tegal Lega menes,Sekarang MTs Atawun menes, beliu sejak kecil di didik Ilmu agama oleh sang ayah yaitu Abah Memed kemudian Mondok ke Pesantren Irsadussa’adah Saketi Pengasuhnya yaitu KH. Nurdin, dilanjutkan ke Pesantren Abuya Dimyati, Cidahu-Pandeglang, Pesantren Bahrul Hikam Kadu Dampit Labuan, KH.Daudi Sidik, Pesantren Al-Magfiroh Banjar Kulon Menes, KH. Iljam Jamahsyari, Pesantren Wasilatul HIdayah Gonggong Menes, KH. Rifa’i, Kadomas-Pandeglang, KH. Kurdi, Pesantren Darul Hikam Ciberem Sukabumi, KH. Ridwan, KH. Hasir, KH. Yahya, KH. Aden, Pesantren Cipanengah Sukabumi, KH. Pahrudin, Pesantren Sukaraja, KH. Ridwan, KH. Asep,Pesantren Buni Kasih Ci Anjur. KH. Fatah, Pesantren Minhajul Karomah Banjar Ci Amis, KH Mumu, Pesantren Riyadu Tafsir Pagentongan Bogor, KH. Asep, Pesantren Al-Firoq Riyadul Alfiah Kadu Kaweng Pandeglang, KH. Mama Sanja,
Keberadaan rumah kyai yang masih satu komplek dengan asrama santri juga semakin mempermudah pengasuh untuk mengontrol dan mengawasi aktivitas santrinya. Beliau sangat memperhatikan santri-santrinya, terutama jika ada diantara santrinya yang tidak mengikuti pengajaran, maka beliau akan memanggilnya. Oleh karena itu beliau sangat disegani dan dihormati oleh santri-santrinya.
 Adapun interaksi positif antara kyai dan santri dalam pesantren lebih menyerupai sebuah keluarga besar yang penuh tata krama kehidupan islami sebagai sarana untuk mengarahkan santri kepada tujuan pendidikan pesantren yang diharapkan.

5)         Keadaan Ustadz

Ustadz yang mengajar di Pesantren Miftahussa’adah ini, semuanya adalah Santri senior. Di antara para ustadz ada yang juga menempuh pendidikan di luar pesntren di samping belajar di pesantren, Ada beberapa kriteria yang diperuntukkan bagi para ustadz yang diterima mengajar di Pesantren Miftahussa’adah ini;
         Mempunyai kemampuan materi yang diajarkan,
         Berkepribadian baik, sehingga dapat dijadikan sebagi suri tauladan yang baik
         Mempunyai  keyakinan  dan  sifat  kemandirian  sesuai  dengan  lingkungan  di Pesantren Miftahussa’adah ini,
         Ikhlas  mengbdikan  diri  dan  bersemangat  tinggi  sebagai  tenaga  pengajar  di Pesantren Miftahussa’adah.

SANAD ILMU K. HAPIDUDIN PENGASUH PONPES MIFTAHUSSADAH DARI PONPES DARUL HIKAM CIBEREM SUKABUMI.

1. Ponpes darul hikam
    a. K.H Aden bin K.H mahmud zamahsyari
    b. K.Deden bin K.H hasan as_sydzili
    c. K.H Ridwan Hidayat
    d. K. Mahmud Yahya bin K.H Mahmud zamhsyari
2. K.H Hasan As-sydzili Bin K. Mahmud Zamahsyari
3. Pesantren Gentur
    a. Syaikh Ahmad Syatibi Ci anjur
    b. Syaikh Qurtubi Ci anjur
4. Syaikh Ahmad Syuja'i Tasik malaya
5. Syaikh Hasan Musthofa Bandung
6. Syaikh Abdul Muhyi pamijahan
7. Syaikh Jainudin Al- Malaibarii
8. Syaikh Ibnu hajar al-haetami
9. Syaikh zakariya Al-Ansori
10. Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolani
11. Syaikh Abdurrohim Al-Aroqii
12. Syaikh Athouddin Al-Athorii
13. Syaikh Muhyiddin An-Nawawi
14. Syaikh Al-Ardabili
15. Syaikh Mahmud Bin Yahya
16. Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghojali
17. Imam Al-Haromain
18. Syaikh Abdullah Al-Juwaini
19. Imam abu bakar Al-qofal
20. Imam ibrohim al-Muroji
21. Imam abu anas bin Syuraij
22. Imam abu sa'id Al-Atbathi
23. Imam ibrohim al-Muzani
24. Imam Asy-Syafii (abu abdillah bin idris)
25. Imam maliki (malik bin Anas)
26. Imam nafi'
27. Syiduna Abdullah bin Umar
28. Syaiduna Muhammad SAW.

Alkatib Sadam Al- Margali ,
sumber dari K. Deden putra K.H Hasan As-syadzili  pengasuh pesantren darul hikam sukabumi.


الى حضرة النبى صلى الله عليه وسلم  وبعلومهم وبمعونتهم وبكرمتهم بسببهم والمعونة والكرمة والبركة والشفاعة والاجابة والاجازة اسألك نفعنا الله . الفاتحة


Daftar Pustaka

Sumber : Majalah An-Najah Edisi 152 Rubrik Jelaja
Wawancara Pengasuh Pondok Pesantren Miftahussa’adah ,K.Hafidudin Beserta Istrinya,Umi Juju
wawancara dengan Rois pondok Pesantren Miftahussa’adah dan para Pengurus Pesantren